Jauh sebelum viral selepas Keputusan MK, kata darurat pernah disematkan pada wereng cokelat setengah abad lalu oleh Majalah Tempo.
Dimanakah Anda pada tahun 1975 ?. Mungkin ada yang masih duduk di bangku SLTA, SLTP, atau SD. Atau, bahkan mungkin ada yang belum lahir. Namun, untuk kali ini, itu tak penting. Yang lebih penting adalah, pada bulan Juni tahun itu, majalah Tempo mengangkat serangan hama wereng cokelat sebagai laporan utamanya. Kulit mukanya dihiasi gambar serangga berwarna cokelat (Gambar 1).
Gambar 1. Kulit muka Tempo edisi 7 Juni 1975. |
Kala itu, saya sendiri masih duduk di tingkat V pada Fakultas Pertanian IPB. Dulu, sewaktu program pendidikan sarjana berlangsung 6 tahun. Sebagai mahasiswa, tentunya, majalah Tempo tadi bukanlah koleksian saya. Mana ada mahasiswa berlangganan koran atau majalah. Tak masuk prioritas. Dan yang pasti, tak mampu.
Lantas, bagaimana majalah lawas berusia setengah abad itu ada di tangan saya ?.
Menjelang penulisan artikel ini, saya menelusuri berbagai lapak buku di Tokopedia. Targetnya mencari koran atau majalah tahun 1970-an yang sekiranya memuat berita atau ulasan tentang wereng cokelat.
Beruntung, Edvin Bookstore di Tangerang Selatan memiliki satu kopi majalah Tempo edisi 7 Juni 1975 yang berisi informasi yang saya perlukan. Saya pun segera mengklik tombol bayar senilai Rp. 35.000,-. Saat terbit, majalah itu diedarkan dengan harga jual Rp 190,-. Begitu tertera pada banderolnya.
Sewaktu majalah itu saya buka, lembaran kertasnya tampak sudah berwarna putih kusam kecokelatan. Maklum, berusia hampir 50 tahun. Sementara, ulasan wereng cokelat saya jumpai pada rubrik Ilmu dengan judul "Darurat Perang Melawan Wereng".
Kata darurat ini mengingatkan saya pada poster Peringatan Darurat berlogo Burung Garuda biru yang viral di media sosial beberapa waktu lalu, selepas MK mengeluarkan Keputusan tentang Pilkada 2024. Rupanya, sama-sama kondisi darurat.
Kronologi ledakan wereng cokelat
Bahwa, pada skala terbatas, wereng cokelat memiliki daya rusak yang dahsyat, itu sudah sejak lama terpantau.
"Dalam tahun 1931 dirusakannya padi di daerah Bogor (Darmaga) setempat-setempat kecil seluas kira-kira 50 m2 jumlahnya. Tiap-tiap pertanaman yang diserang hama ini jadi kering di tengah-tengahnya. Anak-anak Nilaparvata penuh terdapat pada upih-upih-daun dan hama-hama yang dewasa banyak pula kelihatan di helaian-helaian daun", begitu tulis Tjoa Tjien Mo tahun 1952 (kalimat sesuai aslinya, ejaan disesuaikan). Tjoa adalah pegawai Balai Penyelidikan Hama Tumbuh-Tumbuhan, yang kerap membantu Dr. LGE Kalshoven.
Itulah barangkali informasi semikuantitatif pertama tentang serangan wereng cokelat.
Menyusul Darmaga, beberapa tahun kemudian laporan serupa datang dari daerah lain. Mojokerto tahun 1939 dan Yogyakarta tahun 1940. Gejala hopperburn (rumpun kering) juga terpantau pada padi varietas Sigadis di Genteng (Jawa Timur) tahun 1954. Begitu pula pada tahun 1960, gejala itu muncul di Karawang pada 10 ha padi varietas Bengawan dan varietas lokal lainnya.
Meski begitu, hingga menjelang akhir tahun 1960-an, tak seorang ahli hama yang memvonis wereng cokelat sebagai hama penting pada pertanaman padi. Pamornya masih kalah jauh dibandingkan penggerek padi.
Seolah tak mau peduli dengan vonis pakar, wereng cokelat pun melanjutkan petualangannya. Pada MT 1967/1968, sawah seluas 25 ha di Lamongan (Jawa Timur) diserangnya. Selanjutnya MT 1968/1969 di Brebes dan Kendal (Jawa Tengah), tetapi serangannya terbatas pada beberapa petak saja. Pada musim yang sama (MT 1968/1969), sawah di Bekasi, Subang, Karawang dan Majalengka (Jawa Barat) juga terserang, tetapi luas dan intensitas serangannya relatif rendah..
Adanya geliat serangan wereng cokelat itu mendorong Ir. Soehardjan dari LP3 (Lembaga Pusat Penelitian Pertanian) untuk melakukan survei lapangan pada tahun 1970. Lokasi yang dipilih yakni berbagai kecamatan di Jawa Barat yang memperlihatkan tingkat serangan penggerek padi kuning yang berbeda-beda.
Hasil surveinya sungguh menarik !.
Di kecamatan yang serangan penggerek padinya tinggi, petani menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama tadi di sawahnya. Dan, justru di sawah-sawah itulah kerapatan wereng cokelat 10 x lipat lebih banyak daripada sawah lainnya yang tak diaplikasi insektisida.
Tahun-tahun berikutnya, serangan wereng cokelat terus meningkat, baik luas maupun intensitas serangannya.
Pada tahun 1971 persawahan seluas 1.525 ha di Pandeglang terserang berat hingga puso. Pada tahuh itu juga sawah seluas 2.000 ha di Tegal terserang berat oleh wereng cokelat. Hal yang sama terjadi juga di Sumatera Utara. Pada tahun 1971/1972 eksplosi wereng cokelat terjadi pada sawah seluas 11.132 ha di Banyuwangi.
Serangan kemudian menyebar ke wilayah lainnya di Indonesia. Pada MT 1974/1975 serangan wereng cokelat meliputi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi serangan berat wereng cokelat pada MT 74/75 dan 75/76 (Sumber Mochida et al. 1977) |
Pada MT 1975/1976 persebaran serangan wereng cokelat bertambah dengan Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan Barat, dengan luas serangan mencapai 257.000 ha. Berikutnya, pada MT 1976/1977 wereng cokelat menyerang 450.000 ha sawah di Jawa, dengan kehilangan hasil mencapai 364.500 ton beras. Serangan wereng cokelat mencapai puncaknya pada tahun 1979 yang menggasak lebih dari 750.000 ha pertanaman padi (Gambar 3).
Gambar 3. Luas areal sawah terserang berat wereng cokelat (Data dari berbagai sumber). |
Kerusakannya tak hanya akibat langsung dari kegiatan mengisap cairan tanaman, tetapi juga karena kemampuannya menularkan virus kerdil rumput dan kerdil hampa. Di lapangan, ada sawah yang puso karena gejala hopperburn, ada pula yang puso karena gejala virus.
Tampaknya dekade '70-an merupakan tahun-tahun wereng cokelat. Utamanya antara tahun 1974 sampai 1979. Hampir setiap hari muncul pemberitaan serangan wereng cokelat di koran-koran maupun TVRI. Itu pulalah yang memantapkan hati saya, ketika tingkat III, untuk memilih Jurusan HPT (Hama dan Penyakit Tumbuhan). Jurusan yang kala itu tak banyak peminatnya.
Bahkan, selepas lulus pada Agustus 1976, saya ajek mengakrabi bidang itu. Menjadi dosen di Jurusan HPT.
Tak lama berselang, pada tahun itu juga, terjadi ledakan wereng cokelat pada persawahan di Sindangbarang, arah dari Kota Bogor menuju Darmaga. Saya, yang berstatus dosen junior, diajak para senior (Prof. Soemartono Sosromarsono, Dr. Ir. Rusmilah Suseno, Ir. A Hidir Sastraatmadja, Ir. Jusup Sutakaria, Ir. Sugiharso Sastrosuwignyo, M.Sc) untuk meninjau ke lokasi TKP serangan.
Berenam kami berjalan berurutan menapaki galengan sempit dan berlumpur menuju petakan terserang. Saya berjalan paling buncit. Di sawah terserang tampak bagian tengahnya mengering, gejala hopperburn. Ratusan nimfa dan imago wereng cokelat tampak berhimpitan pada pangkal.batang.
Di petakan sebelahnya tampak rumpun-rumpun padi tumbuh kerdil dengan banyak anakan, menandakan terserang virus kerdil rumput. Sementara pada petakan lain ada rumpun yang pertumbuhannya terhambat, tepi daun bergelombang, dan ujung daun terpilin. Ini adalah gejala serangan virus kerdil hampa.
Itulah untuk pertama kalinya saya melihat langsung wereng cokelat di lapangan dan gejala serangannya. Kini, persawahan itu telah tiada, berubah menjadi Kompleks Perumahan IPB Sindangbarang II.
Selama dekade 1970-an, memang wereng cokelat tak hanya menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di berbagai negeri di Asia Tenggara (Filipina, Thailand, Vietnam, dsb) dan Asia Selatan (India).
Jika pada tahun 1964 IRRI menyelenggarakan simposium dengan fokus hama penggerek padi, maka simposium pada tahun 1977 fokusnya pada wereng cokelat dengan tema ”Brown Planthopper: Threat to Rice Production in Asia”.
Tak mau ketinggalan, di dalam negeri juga digelar dua seminar wereng cokelat. Yang pertama dilaksanakan pada 1-3 Juni 1976 di Yogyakarta, yang merupakan kerjasama antara PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) dengan Fakultas Pertanian UGM.
Seminar itu dihadiri oleh 230 peserta, yang terdiri dari kalangan pejabat pemerintah pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, penerbang Satuan Udara Pertanian, perusahaan pestisida dll.
Seminar yang kedua diselenggarakan oleh LIPI pada 22-23 Juli 1977 di Bali. Ini merupakan salah satu simposium dari kegiatan The 3rd Inter-Congress of The Pacific Science Association.
Penyemprotan dari udara
Sejatinya konsep integrated control atau pest management sudah menggelinding di berbagai forum seminar wereng cokelat kala itu. Komponennya meliputi: penanaman varietas tahan wereng, penggunaan insektisida, pengaturan dan penertiban waktu tanam serta pergiliran tanaman, dan sanitasi pertanaman.
Namun, berbagai kendala teknis maupun sosial menyebabkan upaya pengendalian yang dilakukan petani tidak berhasil dengan baik. Buktinya, serangan wereng cokelat terus belanjut.
Tak heran, bila pemerintah lantas mengupayakan penyemprotan dari udara di Jawa dan Bali (Gambar 4).
Gambar 4. PZL-104 Gelatik milik Satuan Udara Pertanian terbang rendah di atas persawahan sembari menyemprotkan insektisida (Sumber: Sudiro Sumbodo). |
Itu dilaksanakan pada MT 1974/1975, MT 1975, MT 1975/1976, MT1976, dan MT 1976/77, dengan menggunakan insektisida diazinon 60 EC.
"Penyemprotan dari udara terbukti efektif dalam pemberantasan hama. Hampir semua persawahan yang disemprot dari udara cukup dapat diselamatkan dari kerusakan yang lebih parah oleh wereng cokelat", begitu ujar Ir. Soenardi, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan kala itu.
Barangkali ia tak keliru. Tapi hanya untuk saat itu. Nyatanya, serangan wereng cokelat terus berlanjut dari musim ke musim (lihat Gambar 3 sebelumnya).
Penyemprotan insektisida dari udara ini dilakukan oleh Satuan Udara Pertanian. Memang, dulu pernah ada unit di bawah TNI AU yang disebut Satuan Udara Pertanian.
Kehadirannya berawal dari Inpres No. 5 tahun 1970 yang berisikan pemanfaatan pesawat-pesawat TNI-AU untuk melaksanakan tugas pertanian.
Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1971 resmi dibentuk Satuan Udara Pertanian. Awalnya berkekuatan empat pesawat Gelatik dan empat Cessna Ag Truck. Lantas digantikan oleh lima unit Pilatus PC-6 B2-H2 Turbo-Porter. Armadanya berkekuatan 20 orang personil, serta bermarkas di Kalijati (Pangkalan Angkatan Udara Suryadi Suryadarma).
Kini, Satuan Udara Pertanian itu nyaris tenggelam di antara gelegar skuadron-skuadron TNI-AU lainnya. Bahkan, ada yang mengatakan sudah dilikuidasi. Itu sangat mungkin. Tergerus zaman, tersingkirkan teknologi drone.
***
Sebenarnya seberapa efisienkah penyemprotan dari udara ?. Jangan bayangkan seluruh cairan insektisida mengenai tubuh wereng.
Von Rumker et, al (1974) memperkirakan < 1% dari insektisida yang diaplikasikan melalui pesawat terbang mengenai hama sasaran. Tidak lebih dari 25 hingga 50% yang mencapai area sasaran (pertanaman). Sisanya 50 sampai 75% hilang akibat volatilisasi dan melayang (drift) dan terbawa hingga beberapa km ke tempat yang jauh (Gambar 5).
Gambar 5. Rute insektisida yang diaplikasikan dari peswat terbang (Sumber: von Rumker et al. 1975). |
***
Wereng cokelat vs varietas tahan
Selain dicirikan oleh penggunaan insektisida yang masif, dekade '70-an juga dicirikan oleh lomba kekuatan antara varietas tahan dengan wereng cokelat.
Berawal ketika padi varietas IR5, Pelita I-1, dan C4-63, yang pada tahun 1971-1974 ditanam secara luas hampir di seluruh pusat produksi, mengalami serangan berat oleh wereng cokelat. Populasi wereng cokelat yang menyerang varietas-varietas ini oleh para pakar digolongkan ke dalam biotipe-1.
Untuk menanggulangi serangan wereng tersebut, maka pada tahun 1975 dilepas varietas unggul tahan wereng biotipe-1 (VUTW1) seperti IR26, IR 28, dan IR 34. Namun, sifat ketahanannya hanya berlangsung dua tahun.
Tahun 1977 varietas tersebut tak lagi tahan terhadap serangan wereng cokelat. Sawah di Jawa Timur dan Sumatera Utara diserang berat oleh wereng cokelat, yang digolongkan sebagai biotipe-2 (Gambar 6).
Gambar 6. Gejala rumpun kering (area kosong di tengah) pada petakan yang ditanami varietas tahan IR34 akibat serangan wereng cokelat biotipe-2 (Sumber: Mochida et al. 1977). |
Tahun 1978 lantas dilepas lagi secara bertahap varietas unggul tahan biotipe-2 (VUTW 2) seperti IR 36, Cisadane, Krueng Aceh, IR 42. Nahas, tahun 1982 varietas IR42 patah ketahanannya di Sumatera Utara. Kala itu, untuk keperluan praktis di lapangan, diluncurkanlah sebutan biotipe Sumatera Utara.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya biotipe baru yakni seleksi terarah dari teori evolusi Darwin. Di dalam populasi wereng cokelat yang genetiknya sangat beragam itu, sebagiannya ada yang mampu hidup pada varietas tahan yang kita tanam. Wereng cokelat populasi itulah yang kelak berkembang biak.
Tatkala sedang melakukan penelitian hama ganjur di LP3 untuk penulisan skripsi S1 pada tahun 1975, saya menyaksikan kegiatan di lembaga itu banyak difokuskan pada pengujian ketahanan varietas padi terhadap wereng cokelat. Sudah tentu selain pengujian insektisida.
Penyebab ledakan wereng cokelat
Adalah Peter E Kenmore orang yang mencoba mengompilasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab ledakan wereng cokelat. Tulisannya itu merupakan bagian dari disertasinya tahun 1980 pada Department of Entomology, University of California-Berkeley. Judulnya "Ecology and Outbreaks of A Tropical Insect Pest of The Green Revolution: The Brown Planthopper, Nilaparvata lugens (Stal)".
Ia menyebutkan bahwa ledakan wereng cokelat menyertai perjalanan modernisasi produksi padi yang dikenal dengan istilah revolusi hijau. Tujuannya yakni memaksimumkan produksi padi sawah.
Dari sisi teknis, revolusi hijau tersusun dari empat perubahan yang saling berkelindan: (1) penanaman varietas padi unggul, (2) penggunaan pupuk nitrogen, (3) penggunaan insektisida, dan (4) pembangunan jaringan irigasi.
Keempat perubahan itu ditengarai berkaitan dengan terjadinya ledakan wereng cokelat.
Varietas unggul. Semula diduga bahwa varietas padi unggul memiliki arkitektur tajuk yang menyediakan mikrohabitat yang lebih sesuai bagi wereng cokelat. Namun, percobaan lapangan yang membandingkan varietas tradisional dan varietas unggul yang anakannya dipangkas demi meniru varietas lama, memperlihatkan tak ada perbedaan yang signifikan dalam hal jumlah wereng per anakan. Artinya, varietas bukan pemicu ledakan wereng cokelat.
Pupuk N. Studi laboratorium menunjukkan bahwa wereng cokelat lebih menyukai tanaman padi dengan kadar N tinggi. Begitu pula, populasi wereng cokelat meningkat dua kali lipat pada rumpun padi yang mendapat pemupukan N tinggi, ketimbang rumpun yang tak diberi N.
Meski begitu, survei petani awal tahun 1970-an di Filipina mengungkapkan bahwa di wilayah yang mengalami ledakan wereng cokelat, tingkat pemupukan N oleh petani lebih rendah daripada tingkat di laboratorium.
Lebih daripada itu, percobaan lapangan di IRRI yang menggunakan perlakuan berbagai level nitrogen dan tanpa insektisida, menunjukkan populasi wereng cokelat awalnya meningkat pada level N tertinggi, tetapi kemudian menurun pada seluruh perlakuan. Bahkan, di akhir percobaan tak lagi menunjukkan perbedaan yang signifikan. Karena dalam percobaan ini tak ada penggunaan insektisida, penurunan wereng diduga kuat karena peranan musuh alami.
Dari sini terindikasi bahwa rentetan percobaan laboratorium, lapangan, dan survei usahatani padi tak mendukung hipotesis bahwa peningkatan penggunaan pupuk N memicu ledakan wereng cokelat.
Insektisida. Percobaan lapangan di IRRI menunjukkan terjadinya ledakan wereng cokelat pada sawah yang disemprot insektisida. Sementara pada sawah yang tak disemprot tidak. Fenomena ini sudah terjadi sejak awal 1970-an.
Begitu pula hasil survei lapangan. Di wilayah yang terjadi ledakan wereng cokelat, petani biasanya menanam varietas unggul yang sekaligus juga menyemprot sawahnya dengan insektisida.
Sejatinya, kaitan penyemprotan insektisida dan ledakan wereng cokelat bukanlah hal baru. Dahulu kala (1670) di Jepang, untuk pengendalian wereng cokelat digunakan minyak paus (whale oil). Minyak ini ditaburkan ke atas permukaan air sawah. Lantas rumpun padi digoyang-goyang, dan wereng akan jatuh dan terbunuh. Namun, dengan cara ini musuh alaminya (laba-laba dan kepik) juga ikut jatuh dan terbunuh.
Insektisida yang modern pun berpengaruh sama. Kala itu yang banyak digunakan adalah BHC, yang sangat toksik terhadap laba-laba Lycosa.
Tak sekadar peningkatan populasi. Percobaan laboratorium di IRRi mengungkapkan bahwa wereng cokelat telah resisten terhadap insektisida hidrokarbon klor, organofosfat, dan karbamat dalam 3-5 generai wereng cokelat.
"Banyak studi laboratorium, percobaan lapangan, dan survei petani menunjang hipotesis bahwa insektisidalah yang menyebabkan ledakan wereng cokelat", begitu Kenmore akhirnya menyimpulkan.
Irigasi. Lantas bagaimana dengan irigasi ?. Ledakan wereng cokelat lebih umum terjadi pada sawah beririgasi. Ada dua faktor yang bertanggung jawab terhadap hubungan ini. Pertama, wereng cokelat lebih menyukai petakan sawah yang lebih lembap. Karenanya, konsentrasi populasi wereng cokelat di petakan itu dapat menciptakan terjadinya ledakan populasi. Kedua, wereng cokelat yang monofag diuntungkan oleh penanaman padi lebih dari sekali, sebagai akibat tersedianya air irigasi.
"Berkah" di balik wereng cokelat
Meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman padi, khususnya wereng cokelat, mendorong pemerintah pada tahun 1969 membentuk Dinas Proteksi Tanaman di tingkat pusat di bawah Direktorat Teknik Pertanian. Sebelum itu, tak ada unit kerja khusus yang menangani permasalahan hama dan penyakit tanaman.
Bahkan, sangat boleh jadi, serangan wereng cokelat yang semakin meningkatlah yang mengantarkan lahirnya Keputusan Presiden No. 44 dan 45 tahun 1974 tanggal 26 Agustus 1974 tentang pembentukan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
Sulit pula untuk dipungkiri bahwa lahirnya tenaga pengamat hama dan penyakit tanaman pada tahun 1976/1977 adalah respons terhadap hama wereng yang terus mengganas.
Sebelum itu petugas pengamat pada umumnya masih merangkap dengan pekerjaan lain, sehingga tak seluruh waktunya tercurah untuk kegiatan pengamatan.
Itulah, barangkali, berkah di balik ledakan wereng cokelat. Berkah institusional.
Referensi
Harahap Z, Siwi BH, Beachell HM. 1978. Breeding for resistance to brown planthopper and grassy stunt virus in Indonesia. Proc. Symp. Brown Planthopper, 3rd Inter-Congress of The Pacific Science Association, Bali 22-23 July 1977. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Heinrich EA. 1978.The brown planthopper threat to rice production in Asia. Proc. Symp. Brown Planthopper, 3rd Inter-Congress of The Pacific Science Association, Bali 22-23 July 1977. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kenmore PE. 1980. Ecology and outbreaks of a tropical insect pest of the green revolution: The brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stal). Ph.D dissertation, Division of Biological Pest Control, Entomological Sciences, University of California-Berkeley.
Kenmore PE. 1991. Indonesia's Integrated Pest Management - A Model for Asia. Program Nasional PHT & FAO.
Mochida O, Oka IN, Dandi S, Harahap Z, Sutjipto P, Beachell HM. 1977. IR26 found susceptible to the brown planthopper in North Sumatera, Indonesia. IRRN 2(5): 10-11.
Mochida O, Suryana T, Wahyu A. 1977. Recent outbreaks of the brown planthopper in Southeast Asia (with special reference to Indonesia). Pages 170-191. In: Food and Fertilizer Technology Center (FFTC).
Oka IN. 1976. Usaha-Usaha Penerapan Konsep Pengelolaan Hama (Pest Management) di Indonesia, Khususnya Terhadap Hama Wereng. Seminar Hama Wereng Tanaman Padi, Yogyakarta, 1-3 Juni 1976.
Soehardjan M. 1973. Observations on leaf- and planthopper on rice in West Java. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 3.
Soenardi. 1976. Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Seminar Hama Wereng Tanaman Padi, Yogyakarta, 1-3 Juni 1976.
Soenardi. 1978. The present status and control of the brown planthopper in Indonesia. Proc. Symp. Brown Planthopper, 3rd Inter-Congress of The Pacific Science Association, Bali 22-23 July 1977. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sumbodo S. 2020. Satud Tani, Perangi Hama dan Wabah. https://aviahistoria.com/2020/08/24/satud-tani-perangi-hama-dan-wabah/. Diakses 15 September 2024.
Tantera DM. The brown planthopper in relation to grassy stunt. Proc. Symp. Brown Planthopper, 3rd Inter-Congress of The Pacific Science Association, Bali 22-23 July 1977. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tjoa Tjien Mo. 1952. Memberantas Hama-Hama Padi di Sawah dan di Dalam Gudang. Djakarta: Noordhoff-Kolff NV.
von Rumker R, Lawless EW, Meiners AF. 1974. Production, distribution, use, and environmental impact potential of selected pesticides. EPA Report 540/1-74-001. Washington DC: EPA.
Untuk keperluan sitasi, silakan tulis: