Friday, August 23, 2024

Situasi Hama Padi Pascakemerdekaan: Dekade '50-an dan '60-an

Perkembangan irigasi dan intensifikasi memicu pergeseran spesies hama padi. Penggerek padi putih digantikan oleh penggerek padi kuning, muncul hama ganjur, bahkan "hilal" wereng cokelat mulai tampak.

Aunu Rauf

Permasalahan hama padi pada masa kolonial telah saya kisahkan pada postingan sebelumnya (klik di sini). Kali ini, tiba giliran untuk menceritakan permasalahan hama padi pascakemerdekaan. Khususnya dua dekade pertama.

Pada dekade '50-an hingga pertengahan dekade '60-an, seperti era kolonial, penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) masih bercokol sebagai hama yang paling merugikan di Indonesia. 

Begitu catatan Ir. Soenardi, Kepala Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan (BPHPT) kala itu, dalam makalahnya “Insect Pests of Rice in Indonesia”. Makalah itu disajikannya pada simposium “The Major Insect Pests of Rice Plant” yang diselenggarakan oleh IRRI pada bulan September 1964.

Ini berbeda dengan di negeri Asia lainnya, di mana pada kurun waktu yang sama, hama utama padi sawah adalah penggerek padi kuning (Scirpophaga incertulas) dan/atau penggerek padi bergaris (Chilo suppressalis). 

Memang, dalam dua dekade itu, berbagai jenis penggerek padi merupakan hama yang paling banyak menimbulkan kerugian di banyak negeri di Asia.

Tak heran, bila prosiding simposium IRRI yang tebalnya 729 halaman dengan 37 Bab itu, sebanyak 25 Bab atau hampir 70%-nya membahas berbagai aspek hama penggerek padi. Sementara, hama lainnya seperti ganjur, wereng, dan walang sangit masing-masing mendapatkan jatah satu Bab. 

Irigasi dan pergeseran spesies penggerek

Sejak akhir dekade '60-an, setidaknya di Jawa terjadi fenomena ekologi yang menarik, yakni pergeseran dominasi hama. Penggerek padi putih (Scirpophaga innotata), yang selama era kolonial dominan di Pantai Utara Jawa, digantikan oleh penggerek padi kuning (Scirpophaga incertulas). Tak dapat dipungkiri, ini ada kaitannya dengan perkembangan irigasi. 

Sejatinya, irigasi sawah sudah ada sejak masyarakat tani mulai bercocok tanam padi. Namun, pembangunan irigasi yang moderen di Jawa baru dimulai pada pertengahan abad ke-19 sebagai upaya untuk mengatasi kelaparan yang disebabkan oleh kekeringan panjang di Demak pada tahun 1849. Kala itu, sekitar 280 ribu orang tercatat meninggal karena kelaparan. 

Pembangunan irigasi semakin marak pada awal abad ke-20, sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam melaksanakan politik etika oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kebijakan yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat pribumi.

Di antara irigasi yang dibangun adalah Bendungan Walahar di Kabupaten Karawang, yang menahan aliran Sungai Citarum selebar 50 m dan membentuk waduk seluas 15 ha. 

Bendungan Walahar dibangun secara bertahap mulai tahun 1919, tahun 1921, hingga tahun 1930 (Gambar 1), serta mulai digunakan secara resmi tahun 1925 untuk mengairi sawah seluas 87.506 ha.

Pintu air Citarum dekat Walahar
Gambar 1. Pintu air Sungai Citarum dekat Walahar (Sumber: Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures) 

Perkembangan irigasi tersebut telah memungkinkan sebagian petani menanam padi dua kali dalam setahun. Dan, ini berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup ulat penggerek padi putih.

Pengolahan tanah setelah panen, untuk persiapan musim tanam kedua, telah menyebabkan ganggun pada ulat penggerek padi putih yang, selama musim bera, berdiapause dalam tunggul padi. 

Tak heran, bila van der Goot mengamati bahwa sejak tahun 1935 serangan penggerek padi putih mulai menurun (Gambar 2).  

Penurunan serangan penggerek padi putih akibat irigasi
Gambar 2. Pengaruh irigasi terhadap perkembangan serangan penggerek padi putih di Karawang (Sumber: van der Laan, 1951)

Hampir berbarengan dengan itu, pada pertengahan 1940-an, van der Goot pula yang mulai mengendus adanya peningkatan serangan penggerek padi kuning. Ulat penggerek padi kuning, yang memang tidak berdiapause, sangat diuntungkan oleh adanya penanaman padi lebih dari sekali dalam setahun.

Tak berhenti sampai di Bendungan Walahar. Pada tahun 1964 dibuka Bendungan Jatiluhur yang dapat mengairi sekitar 300.000 ha persawahan tadah hujan di Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu, Purwakarta, dan Cirebon. Lagi-lagi, ini menawarkan kesempatan bagi petani untuk menanam padi sawah dua kali dalam setahun. 

Di wilayah itu, empat tahun kemudian (1968), dominasi penggerek padi putih  telah tergeser oleh penggerek padi kuning. Ini tampak dari hasil tangkapan lampu perangkap di Pusakanagara pada tahun 1969. Banyaknya ngengat penggerek padi kuning yang tertangkap jauh lebih banyak ketimbang penggerek padi putih (Gambar 3). Lebih dari itu, sejak tahun 1970 S. incertulas menyusun 95% dari berbagai jenis penggerek padi yang menyerang pertanaman padi di Jawa.

Hasil tangkapan ngengat pada lampu perangkap
Gambar 3. Banyaknya ngengat yang tertangkap lampu perangkap di Kebun Percobaan
Pusakanegara, 1969 (Sumber: Soehardjan,1971)

Rupanya, tak hanya penggerek padi putih yang terdampak oleh irigasi dan pola tanam. Tapi, walang sangit juga. Ketersediaan irigasi teknis telah memungkinkan padi ditanam dan dipanen secara serentak dalam hamparan yang luas. Ini berakibat pada terputusnya ketersediaan sumber daya makanan bagi walang sangit di tempat itu.

Awal insektisida masuk sawah

Sebelum proklamasi kemerdekaan, pengendalian hama di sawah lebih bertumpu pada pengendalian secara mekanis dan bercocok tanam. Misalnya saja, untuk pengendalian hama penggerek padi putih dilakukan dengan cara pembakaran tunggul, pengolahan tanah dalam, pengumpulan kelompok telur di persemaian, dan penundaan waktu semai.

Nah, setelah tahun 1945 praktek tersebut berubah 180 derajat. Ini ada kaitannya dengan ditemukannya senyawa DDT menjelang akhir perang dunia ke-2. Senyawa ini mengandung hidrokarbon klor yang sangat ampuh membinasakan berbagai hama tanaman. Keberhasilan itu telah mendorong disintesisnya sejumlah senyawa kimia lain, yang juga mengandung hidrokarbon klor, seperti Aldrin, Dieldrin, Endrin, Toxaphene, BHC, Heptaklor, Klordane, dan Metoxyklor.

Penemuan DDT dan senyawa lainnya tadi melahirkan optimisme bahwa segala jenis hama dapat dimusnahkan dari pertanaman. Tak terkecuali hama padi.

Alkisah, PA van der Laan pada tahun 1949/1950 mulai mencoba menggunakan DDT untuk membasmi penggerek padi putih di berbagai lokasi di Jawa Tengah. Hasilnya tampak memuaskan. Persemaian yang disemprot DDT hampir terbebas dari gejala sundep, sementara persemaian kontrol terserang sangat berat (Gambar 4).

Pengaruh aplikasi DDT terhadap serangan sundep
Gambar 4. Persemaian bagian depan tanpa perlakuan (kontrol); persemaian bagian belakang disemprot dengan 0,05% DDT, Weleri (Jateng) Juni1950 (Foto PA vander Laan) 

Keberhasilan ini mendorong van der Laan untuk melaksanakan percobaan pada skala yang lebih luas dengan menggunakan mist-blower (Gambar 5). 

Percobaan penyemprotan insektisida di persemaian
Gambar 5. Aplikasi insektisida dengan mistblower, Weleri (Jateng), Desember 1950 (Foto GW Ankersmit)

Tak hanya penggerek padi, percobaan insektisida juga dilakukan untuk hama padi lainnya seperti walang sangit, wereng cokelat, ulat grayak, lalat bibit, dan thrips. Bahkan, termasuk hama gudang seperti Sitotroga cerealella dan Calandra oryzae (sekarang: Sitophilus oryzae)

Tak heran, jika dalam buku "Memberantas Hama-Hama Padi di Sawah dan di dalam Gudang" karangan Tjoa Tjien Mo terbitan tahun 1952, tercantum rekomendasi pemberantasan dengan insektisida. Misalnya, wereng cokelat dan wereng hijau diberantas dengan menghembuskan tepung DDT 5%.

***

Siapakah sebenarnya PA van der Laan yang merintis penggunaan DDT di sawah itu ?.

Tak ada data kapan dan dimana ia dilahirkan. Namun, PA van der Laan diketahui  memperoleh gelar Dr. pada tahun 1934 dari Universitas Utrecht dalam bidang fisiologi tumbuhan. Pada tahun 1936, ia berangkat menuju Hindia Belanda untuk bekerja sebagai entomologiwan pada Stasiun Percobaan Tembakau di Deli-Medan, Sumatera Utara.

Semasa pendudukan Jepang, seperti peneliti berkebangsaan Belanda lainnya, ia ditawan dan ditempatkan di pengasingan. Setelah proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 ia pulang ke negeri Belanda dan bekerja pada Royal Tropical Institute

Namun, dua tahun kemudian (1948), ia kembali ke Indonesia untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Zoologi pada Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan di Bogor. Pada saat itulah ia berkesempatan melakukan uji coba berbagai insektisida di persawahan.

Selepas penyerahan kedaulatan, pada tahun 1951 ia pulang meninggalkan Indonesia dan menetap di negeri Belanda. 

Setelah lama bermukim di negeri leluhurnya, suatu ketika ia merasa risau dengan nasib dua jilid buku karya Dr. LGE Kalshoven "De plagen van de cultuurgewassen in Indonesie", tebitan tahun 1950 dan 1951 (klik di sini).

"Siapa yang akan membaca buku itu kelak ?. Sementara, meski lama di bawah penjajahan Belanda, orang Indonesia tak cakap berbahasa Belanda", itulah kerisauan yang lama menggelayuti benak van der Laan. 

Nah, setelah memperoleh sponsor, ia pun lantas mengawali proyek penerjemahan buku Kalshoven ke dalam bahasa Inggris. Tahun 1977 dia sempat datang lagi ke Indonesia untuk memperoleh saran dan masukan dari beberapa pakar nasional. Di antaranya Dr. M Soehardjan, Dr. IN Oka, Dandi Soekarna, Dr. S Wardojo, dan Dr. Soemartono Sosromarsono. 

Terjemahannya itu lantas diberi padanan judul "The Pests of Crops in Indonesia", dan diterbitkan oleh PT Ichtiar Baru tahun 1981. Sejatinya, ini adalah versi singkat dari buku aslinya. Awal tahun 2000-an, saya sempat membeli buku ini seharga Rp. 150 ribu di salah satu lapak buku di Kampus IPB Darmaga.

Buku karya Dr. LGE Kalshoven, yang kaya muatan entomologinya itu, barangkali mewakili salah satu bagian kecil dari wujud "bau kolonial" yang diwariskan oleh para ilmuwan Belanda tempo dulu. Memang, seperti kata orang,  tak seluruh aspek kolonialisme di masa lalu berwajah kelam.

***

Intensifikasi padi

Sejak tahun-tahun permulaan kemerdekaan, pemerintah telah memberikan perhatian pada peningkatan produksi pangan, yakni melalui program intensifikasi padi. Misalnya, pada tahun 1959 dibentuk gerakan intensifikasi padi yang disebut Gerakan Swasembada Beras (SSB). Pada tahun 1960, gerakan ini diperluas menjadi Gerakan Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). 

Sejak itulah penggunaan insektisida di persawahan untuk pengendalian hama padi mulai meluas.  

"Seingat saya, untuk pengendalian penggerek padi putih, persemaian padi harus disemprot dengan Endrin 19.2% EC dengan konsentrasi 1.5-2.0 cc/liter air dan dosis 200-400 liter cairan semprot per hektar. Penyemprotannya dilakukan  pada umur 11 hari setelah sebar dan diulang seminggu kemudian", begitu kenang Pak Soemartono, yang kala itu masih berstatus sebagai dosen muda di Fakultas Pertanian di Bogor.

Pelaksanaan intensifikasi padi melalui SSBM tadi banyak menerapkan perintah dan komando. Ujung-ujungnya, petani selalu menunggu perintah dan bantuan dari pemerintah, dan takut berinisiatif.

Karenanya, pada tahun 1963-1966 proses penyuluhannya diperbaiki melalui pendekatan demonstrasi. Kala itu dikenal istilah demonstrasi plot (demplot), demonstrasi farm (demfarm), demonstrasi area (demarea), dan demonstrasi massal (demas).  

Pendekatan ini berawal pada tahun 1963, ketika Fakultas Pertanan-IPB berhasil menerapkan Panca Usaha melalui demfarm seluas 100 ha di Kabupaten Karawang. Keberhasilan itu mendorong Departemen Pertanian untuk menerapkannya secara lebih besar dalam bentuk demas.

Dalam perjalanannya, demas terus diperluas hingga mencapai areal ratusan ribu hektar. Sistem penyuluhannya pun diubah. Tak hanya demonstrasi, tetapi juga bimbingan. 

Namanya lantas berubah menjadi bimbingan massal (Bimas). Inilah cikal bakal dari Proyek Bimas. Dalam program Bimas petani memperoleh paket kredit sarana produksi berupa benih, pupuk, dan pestisida.  Program Bimas ini dimulai secara nasional pada tahun 1965/1966. 

Karena keterbatasan devisa negara, maka untuk penyediaan sarana produksi dikerjasamakan dengan beberapa perusahaan swasta asing. Di antaranya adalah dengan CIBA, suatu perusahaan farmasi dan kimia dari Swiss. Karenanya kerap disebut Bimas-CIBA. 

Nah, pada masa Bimas-CIBA itulah pada MH 1968/1969 dilakukan  penyemprotan dari udara dengan bantuan pesawat terbang (Gambar 6).

Pesawat yang digunakan untuk penyemprotan insektisida
Gambar 6. Pesawat Pilatus Turbo-Porter yang digunakan dalam penyemptotan sawah dari udara (Sumber: Joyce et al. 1970).

Sawah seluas 300.000 ha yang merentang dari Karawang (Jawa Barat) hingga Bojonegoro (Jawa Timur) disemprot dengan Dimecon buatan CIBA untuk mengendalikan penggerek padi kuning.  Memang, kala itu, hama  utama yang banyak menimbulkan kerusakan pada pertanaman padi adalah penggerek  padi kuning (S. incertulas).

Hasil penyemprotan pun diklaim berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh tim penelitinya pada jurnal PANS tahun 1970.  Sawah yang disemprot menghasilkan panen yang besarnya 50-100% lebih tinggi ketimbang sawah yang tidak disemprot.  

Namun, ada sebongkah keraguan mengganjal terhadap hasil “penelitian” itu. 

Pertama, sawah kontrol (yang tidak disemprot) adalah sawah petani non-Bimas, yang tidak menerima paket sarana produksi. Wajar, kalau muncul pertanyaan apakah perbedaan hasil panen itu karena penyemprotan atau karena perbedaan pemupukan dan penggunaan varietas unggul. 

Kedua, seluruh penulis artikel bekerja di perusahaan pelaksana penyemprotan (dari Swiss dan Inggris), sehingga diragukan objektivitasnya. 

Lebih dari itu, sebagaimana diberitakan Kompas 2 Desember 1969, Menteri Pertanian mengonfirmasi laporan bahwa sawah di Jawa Barat yang paling banyak mendapat penyemprotan dari udara justru menderita serangan hama yang paling berat. 

Masyarakat pedesaan pun ikut bersedih. Mereka melaporkan adanya kematian pada ikan dan ternak itik selepas penyemprotan dari udara. 

Kemunculan hama ganjur

Hama ganjur Pachydiplosis oryzae (sekarang: Orseolia oryzae), sejatinya sudah sejak masa kolonial diketahui menyerang padi sawah. Kala itu, para petani kerap menyebutnya  hama pakoe, hama mendong, atau hama bawang. Serangannya memang selalu ringan, karena peranan dari musuh alaminya. Di antaranya parasitoid Platygaster oryzae yang tingkat parasitisasinya dapat mencapai lebih dari 50%.

Namun, pada awal dekade '60-an mulai tampak adanya peningkatan serangan hama ganjur. Pada MH 1960/1961, sawah seluas 70.000 ha di Banyumas  terserang berat oleh hama ganjur. Beberapa tahun berselang, yakni pada MK 1969 hama ganjur menimbulkan kerusakan berat pada sawah seluas 20.000 ha di Bekasi. Dan, pada MH 1969/1970 sawah seluas 25.000 ha di Jawa Tengah juga terserang hama ganjur.

Pemicu ledakan hama ganjur tak diketahui secara pasti. Mungkin karena merebaknya penggunaan insektisida di sawah. Mungkin karena perubahan cara bercocok tanam, seperti penanaman varietas baru dan pemupukan, seiring dengan bergulirnya gerakan SSBM.

Dugaan lain diajukan oleh Dr. Ida Nyoman Oka. Ia mengaitkan ledakan hama ganjur pada tahun 1969/1970 di Pantai Utara Jawa Barat dengan penyemprotan insektisida yang dilakukan setahun sebelumnya. Kala itu, sawah di daerah itu disemprot dari udara dengan Dimecron untuk memberantas penggerek padi kuning. 

"Hilal" wereng cokelat

Pada MT 1967/1968 sawah seluas 25 ha di Kabupaten Lamongan (Jawa Timur) dilaporkan terserang berat oleh wereng cokelat. Pada saat yang hampir bersamaan (MT 1968/1969), 2.000 ha sawah di Kabupaten Brebes, Tegal, dan dan Kendal (Jawa Tengah) juga terserang wereng cokelat. Tak hanya itu. Pada musim yang sama, sawah seluas 50.000 ha di Subang dan Indramayu (Jawa Barat) terserang wereng cokelat. 

Barangkali, itulah "hilal" kemunculan wereng cokelat di penghujung dekade '60-an.

Kemunculannya itu berlangsung tak lama setelah penanaman padi varietas unggul. Memang, sejak MT 1965/66, pemerintah gencar mempromosikan peningkatan produksi beras melalui penanaman varietas unggul seperti IR5, IR8  dan C4, serta peningkatan penggunaan pupuk dan insektisida.

Pergeseran riset 

Lingkup riset hama padi selama dekade '60-an tercermin dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Bagian Hama dan Penyakit Tumbuhan, Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Lembaga yang berdiri tahun 1966 ini bertugas melakukan penelitian pada tanaman pangan.

Bila pada masa kolonial hama yang menjadi sasaran riset adalah penggerek padi putih, maka sejak akhir dekade 1960-an sasaran riset bergeser ke penggerek padi kuning dan ganjur. Sedikit-sedikit sudah juga menyentuh wereng. 

Bila pada masa kolonial aspek riset lebih pada pemahaman biologi dan ekologi hama, maka sejak dekade '60-an aspek riset lebih didominasi oleh pengujian insektisida. Setidaknya 16-18 jenis insektisida baru setiap musimnya yang diuji untuk penggerek padi kuning dan ganjur. 

Kegiatannya meliputi penapisan insektisida, penentuan dosis, penentuan waktu aplikasi, pengujian fomulasi, dan penentuan volume semprot. P Panoedjoe dan Dandi Soekarna adalah dua nama peneliti LP3 yang kerap mewarnai laporan pengujian insektisida kala itu.

Di luar itu, ada juga riset tentang percobaan waktu tanam, survei lapangan, dan pengujian ketahanan varietas padi.

Referensi

Ankersmit GW, van der Laan PA. 1951. Resultaten van Proeven met Insecticiden ter Bestrijding van Insectenplagen in de Landbouw in Indonesie. Landbouw XXIII: 424-482.

Aziz I. 1973. Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian Bagian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan pada Lembaga Pusat Penelitian Pertanian di Bogor. [Skripsi] Departmen Agronomi Fakultas Pertanian Unsri Afiliasi Fakultas Pertanian IPB.

Fakultas Pertanian IPB. 1992. Tahun 1963 Perguruan Tinggi Menjawab Tantangan Masalah Pangan. Bogor: IPB Press.

Inagurasi LH. 2014.Bangunan-Bangunan Air Masa Hindia Belanda di Wilayah Karawang: Dalam Konteks Pertanian Padi. Naditira Widya 8(1): 9-18.

Joyce RJV, Marmol LC, Lucken J , Bale E, Quantick R. 1970. Large-scale Aerial Spraying of Paddy in the Java CIBA-Bimas Project. PANS 16(2): 309-326.

Soehardjan M. 1971. Recent progress in rice insect research in Indonesia. Proceedings of Symposium on Tropical Agriculture Researches. JIRCAS 5: 99-108.

Soehardjan M. 1973. Observations on leaf and planthopper on rice in West Java. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor 3: 1-10.

Soenardi. 1967. Insect Pests of Rice in Indonesia. p 675-683. In The Major Insect Pests of The Rice Plant. Proceedings Symposium The International Rice Research Institute, September 1964. Baltimore: The Johns Hopkins Press.

Oka IN. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sosromarsono S. 1965. Kemadjuan dalam Pemberantasan Hama Tanaman Selama 20 Tahun Merdeka. Seri Research Pertanian 9: 29-43.

van der Geest LPS, Schoonhoven LM. 1993. In memoriam PA van der Laan. Ent Ber Amst 53: 149-150.

van der Laan PA. 1951. De Mogelijkheden van Bestrijding der Rijstboorders. Landbouw XXIII: 296-347.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2024. Situasi Hama Padi Pascakemerdekaan: Dekade '50-an dan '60-an. https://www.serbaserbihama.com/2024/08/hama-padi-dekade-50-dan-60.html. Diakses tanggal (Sebutkan).




Sunday, July 7, 2024

Sepenggal Kisah Kutu Loncat Lamtoro, Dibuang Sayang

 Aunu Rauf

Beberapa hari selepas saya menyampaikan "orasi purnabakti" pada 10 Februari  2021, datang pesan WhatsApp di ponsel saya. Pengirimnya seorang mahasiswa S1 yang pernah saya bimbing. 

"Pak ..saya pernah baca wawancara pak Andi Hakim di Tempo bahwa ada tekanan dari Menteri Pertanian agar Pak Aunu tidak bicara lagi tentang hama kutu loncat lamtoro. Boleh Pak kapan-kapan itu diceritakan", begitu tulisnya.

Memang pada orasi yang dilakukan secara daring itu, karena masih pandemi Covid-19, saya mengusung judul "Menyusuri Jejak Panjang Berburu Hama Tanaman". Dan, salah satu hama yang saya ceritakan sepintas adalah kutu loncat lamtoro.

Ya, kedatangan hama asing kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) ke dalam wilayah Indonesia memang sempat sangat menghebohkan. Hama tadi diketahui pertama kali menyerang perkebunan lamtoro milik Balai Penelitian Ternak di Ciawi, Bogor. Itu terjadi pada bulan Maret tahun 1986. 

Masih terbayang dalam ingatan saya, pada masa awal kedatangan hama itu, seluruh pohon lamtoro di wilayah Bogor tajuknya gundul karena daunnya luruh terserang kutu loncat (Gambar 1). Beberapa bulan kemudian kutu loncat lamtoro menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk Papua.

Pohon lamtoro terserang kutu loncat
Gambar 1. Tajuk pohon lamtoro yang terserang kutu loncat Heteropsylla cubana (Bogor 9 Juni 1986) 

Menengok ke belakang, sebelum tahun 1980 H. cubana hanya terdapat di kawasan Neotropika, mulai dari bagian utara Argentina hingga Mexico. Tahun 1983 hama ini menyebar ke Florida, dan selanjutnya menyeberang ke kawasan Oriental dan Australia.   

Kedatangan kutu loncat lamtoro pada tahun 1986 itu mengawali persentuhan saya dengan hama asing invasif. Pada saat itu saya baru tiga tahun berada di Bogor, sejak kepulangan dari studi di USA, dan masih berstatus anak bawang di kancah perhamaan di Indonesia.  

Keterlibatan dengan kutu loncat lamtoro itulah yang pernah membawa saya pada suatu pengalaman yang tak mudah lepas dari ingatan. Begini ceritanya.

Suatu pagi, persisnya tanggal 17 Agustus 1986, seusai kembali dari mengikuti upacara kemerdekaan di halaman depan Kampus IPB Baranangsiang, setibanya di kamar kerja, saya mendapat tilpon dari kantor rektorat. Pesannya agar saya segera datang untuk menghadap Rektor. Kala itu Rektornya adalah Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion, seseorang yang pemikiran dan gaya tulisannya saya kagumi dan idolakan. Bahkan, sejak saya mahasiswa.

Sepanjang jalan menuju rektorat, berbagai tanda tanya berkecamuk dalam kepala. Apa yang salah ?. Apakah saya keliru membaca urutan butir-butir Pancasila ?. Dan, karenanya layak mendapat teguran.  Kebetulan pada upacara kemerdekaan itu, sebagai Ketua Jurusan HPT,  saya ditugasi membaca teks Pancasila.

Setibanya di gedung rektorat, yang sekarang menjadi kantor Majelis Wali Amanat (MWA), di dalam ruangan sudah ada Prof. Dr. Ir. Soemartono Sosromarsono dan Prof. Dr. Ir. Gunarwan Soeratmo, M.F.  Rupanya kedua dedengkot entomologi itu juga hadir pada upacara kemerdekaan dan diminta oleh Rektor untuk turut serta dalam pertemuan.

Setelah mengetuk pintu dan masuk ruangan Rektor, Pak Andi mempersilahkan saya untuk duduk dekat Pak Soemartono. Dengan wajah serius, Pak Andi lantas bercerita bahwa baru saja beliau mendapat tilpon dari Menteri Pertanian yang dengan nada tinggi meminta agar dosen bernama Aunu Rauf menghentikan segala wawancara di media massa perihal kutu loncat lamtoro.  

Saya menduga bahwa hal itu terkait dengan pemberitaan di harian Kompas beberapa hari sebelumnya.  

Memang pada hari Senin 4 Agustus 1986, saya yang waktu itu belum lama didapuk menjabat Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB didatangi dua orang wartawan harian Kompas. Keduanya adalah alumni IPB. Yang satu angkatan A6, satunya lagi A11.

Kepada kedua wartawan itu, saya ceritakan hasil pengamatan lapangan serangan kutu loncat lamtoro di Bogor dan sekitarnya. Pengamatan itu dilaksanakan bersama beberapa kolega dosen. Di antaranya I Wayan Winasa, Nina Maryana, dan Idham S Harahap. 

Saya bercerita bahwa, kala itu, sulit menjumpai pohon lamtoro yang bebas dari serangan kutu loncat. Tak terkecuali pohon lamtoro yang tumbuh terisolasi di pinggiran kebun teh Gunung Mas, di sepanjang jalan Bogor-Bandung dan di tempat lainnya.

Bahkan bibit lamtoro setinggi 5 cm yang tersembunyi dalam semak belukar juga diserangnya. Semuanya itu menunjukkan kemampuan dan kecepatan kutu loncat lamtoro mengeksploitasi sumberdaya makanan. 

Tak sekadar itu. Populasinya juga sangat berlimpah. Pada ranting yang telah meranggas yang panjangnya 57 cm kami menjumpai 104 imago, 1343 nimfa dan lebih dari 10.000 butir telur.

Wawancara selesai.

Esok harinya muncul berita di Kompas dengan judul “Serangan Kutu Loncat Lamtoro Lebih Ganas daripada Wereng Cokelat” (Gambar 2). Tampaknya judul berita itulah yang membuat Pak Menteri Pertanian tak berkenan. Maklum, tahun 1986 sudah memasuki tahun politik, karena Pemilu tak lama lagi digelar pada 23 April 1987.  

Berita serangan kutu loncat lamtoro
Gambar 2. Guntingan koran Kompas 5 Agustus 1986 (Koleksi pribadi)

Judul berita itu tampaknya membuat Pak Menteri merasa tak nyaman. Khawatir serangan kutu loncat lamtoro dijadikan komoditas politik yang dapat berimbas pada kedudukannya kelak. Terlebih lagi, kebun lamtoro yang ada di kompleks peternakan sapi milik Presiden Soeharto di Tapos ikut diserang oleh kutu loncat.

Peristiwa tadi tampaknya membekas di benak Pak Andi. Apalagi Pak Andi dikenal memiliki daya ingat yang kuat. 

Empat belas tahun kemudian, Pak Andi mengungkit lagi peristiwa itu ketika wartawan Tempo mewawancarainya tentang pendidikan tinggi di Indonesia..

 “Suatu siang seorang menteri-lulusan-IPB menelpon ke kantor saya.  Mula-mula ia memuji sehingga saya langsung waspada. Eh, benar. Buntutnya, dia menyuruh saya agar menekan Aunu Rauf, seorang dosen di Faperta, agar tidak bicara hama kutu loncat lagi. Waktu itu Aunu diwawancarai Kompas soal kutu loncat. Saya katakan kepadanya, dosen itu hanya menjalankan kewajibannya sebagai ilmuwan.  Dan kalau ia terus memaksakan kehendak, mau dikemanakan integritas akademik almamaternya ?. Akhirnya, ia minta maaf", begitu kenang Pak Andi sebagaimana ditulis majalah Tempo edisi 02 Februari 2000. 

Akhirnya saya mafhum. Rupanya mahasiswa yang disebut di awal tulisan ini  pernah membaca wawancara majalah Tempo dengan Pak Andi tadi.

***


Wednesday, March 27, 2024

S. Leefmans, Tamatan Sekolah Dasar Penyandang Gelar Doktor Honoris Causa

Kiprahnya di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tahun 1912 dalam menangani permasalahan hama-hama singkong, kopi, dan kelapa mengantarkannya pada gelar Dr. HC entomologi terapan dari Universitas Pertanian Wageningen pada tahun 1928.

Saturday, February 24, 2024

Kupu-Kupu Jeruk, Papilio demoleus L., Bukan Serangga Asli Indonesia

Tahun 1980-an Papilio demoleus malayanus dan Papilio demoleus demoleus datang ke Indonesia. Yang disebut pertama datang dari Malaysia melalui Sumatera, yang kedua dari Taiwan melalui Filipina.

Monday, November 13, 2023

Inpres Nomor 3 Tahun 1986 : Before dan After

Pak Harto satu-satunya Presiden yang memmberi perhatian pada hama, dan wereng cokelat satu-satunya hama yang mendapat perhatian dari Presiden.

Wednesday, October 25, 2023

Duo Pelopor Studi Hama di Hindia Belanda: 1. Kisah Dr. Leo Zehntner

Dr. Leo Zehntner, satu dari dua pelopor studi hama di Hindia Belanda, tiba di Jawa pada tahun 1894. Ia didatangkan untuk menangani permasalahan hama tanaman di perkebunan tebu dan kakao.

Sunday, October 1, 2023

Potret Biodiversitas Capung di Bogor: Bagian I. Zygoptera

Setidaknya ada 19 spesies capung jarum (Zygoptera) yang menghuni habitat lahan basah di Bogor. Dua diantaranya, Vestalis luctuosa dan Rhinocypha heterostigma, berstatus hampir terancam punah.