Saturday, March 15, 2025

Melacak Jejak Pengendalian Hayati Klasik di Hindia Belanda

Dari 12 kali percobaan memerangi hama/gulma dengan musuh alami dari mancanegara, dua berhasil dengan sempurna. Pengendalian kutu putih kopi di Toraja tahun 1928, dan pengendalian kaktus di Lembah Palu tahun 1934.

Aunu Rauf

Semenjak kutu jeruk Icerya purchasi dari Australia merambah masuk ke Kalifornia pada tahun 1868, industri jeruk di negara bagian AS itu mengalami keterpurukan. Berbagai cara pengendalian telah diupayakan, termasuk fumigasi dengan HCN. Namun, tak satu pun berhasil dengan memuaskan.

Adalah Albert Koebele yang 20 tahun kemudian (1888) mendatangkan kumbang predator Rodolia cardinalis dari Australia ke Kalifornia untuk mengendalikan hama tersebut. Hasilnya menakjubkan. Serangan hama menurun tajam, dan industri jeruk Kalifornia terselamatkan.

Itulah contoh klasik pengendalian hama dengan mendatangkan musuh alami dari negeri asal hama. Tak heran, bila cara pengendalian yang demikian di kemudian hari dikenal dengan istilah classical biological control atau pengendalian hayati klasik.

Sangat boleh jadi, Albert Koebele tak menyangka bahwa langkahnya itu kelak akan diikuti oleh banyak pakar hama lainnya. Meminjam istilah media sosial, ia banyak followers-nya. Tak terkecuali di Hindia Belanda (Indonesia). Terutama setelah berdirinya Instituut voor Plantenziekten (IvPZ) di Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1911, yang tugasnya menyelidiki hama dan penyakit tumbuhan. 

IvPZ dihuni oleh para entomologiwan beken. Ada Dr. P van der Goot, Dr. LGE Kalshoven, Dr. S Leefmans, Dr. CJH Franssen, Dr. J van der Vecht dan lainnya (Gambar 1). Mereka dibantu oleh beberapa orang pribumi, di antaranya Mantri Muhadi dan Mantri Inen. Mantri adalah jabatan untuk melaksanakan tugas (keahlian) khusus. Dalam hal IvPZ, tugas khusus itu misalnya membiakkan serangga di laboratorium dan mengamati hama di lapangan.

Para periset Balai Penyelidikan Hama Tumbuhan
Gambar 1. Para peneliti Instituut voor Plantenziekten ca. 1940 (Sumber: Photographs of Indonesia Vol.1, Krul Antiquarian Books)

Tak salah lagi, IvPZ adalah institusi riset kelas dunia (world class research institute). Bahkan, barangkali the best pada zamannya. Simak percikan kekaguman LO Howard terhadap kemajuan entomologi terapan di Hindia Belanda, sebagaimana ia tulis dalam bukunya "A History of Applied Entomology" terbitan tahun 1930.

"No other country has a more competenly manned service in economic entomology". 

Lantas, kapan dan siapa sajakah followers Albert Koebele di Hindia Belanda ?, serta hama apa yang menjadi sasarannya ?. Yuk, simak ulasannya berikut ini.

1901: JC Koningsberger vs Kutu batok hijau kopi

Adalah Dr. JC Koningsberger yang merupakan follower pertama Koebele di Hindia Belanda. Ia datang ke Jawa pada tahun 1894 dan merupakan orang kulit putih pertama, selain Dr. Zehntner, yang ditugasi meneliti hama kopi dan hama tanaman lainnya di Hindia Belanda. 

Upaya pengendalian hayati klasiknya itu berawal dari kunjungan Koningsberger ke Sri Lanka pada tahun 1898. Di sana ia sempat menyaksikan bagaimana lahapnya kumbang Exochomus nigromaculatus menyantap kutu batok hijau Lecanium viridae (sekarang: Coccus viridis)

Terkesan oleh kerakusannya, pada tahun 1901 ia mendatangkan  kumbang predator E. nigromaculatus dari Sri Lanka untuk mengendalikan kutu hijau L. viridae pada perkebunan kopi di Jawa Timur. 

Naas, dari sekian banyak kumbang yang dikirim dari Sri Lanka, hanya tujuh ekor yang tiba di Jawa dengan selamat. Sebagian besar mati di perjalanan.

Terhadap sisanya yang masih hidup itu, Koningsberger lantas memberinya makanan berupa kutu L. viridae. Sebulan berselang, ia mendapati sekitar 150 butir telur di dalam kurungan, dan memeliharanya hingga menjadi larva, pupa dan kumbang.

Koningsberger lalu melepasliarkan kumbang-kumbang itu di perkebunan kopi Sumber Suko di Jawa Timur. Namun, upayanya itu gagal. Ia harus menelan kekecewaan. Tak seekor pun kumbang meninggalkan keturunan.

1911: LP de Bussy vs Ulat pupus tembakau

Dr. LP  de Bussy, Direktur Stasiun Percobaan Tembakau Deli di Medan (Sumatera Utara), sangat dipusingkan oleh ulah ulat Heliothis obsoleta (sekarang: Heliothis assulta) yang biasa menyerang pucuk tembakau.

Sejatinya, selama tahun 1908-1910 ia telah blusukan mencari parasitoid telur H. obsoleta di Jawa dan Sumatera. Namun, hasilnya nihil. 

Pada saat yang bersamaan, ia mengetahui bahwa spesies hama yang sama terdapat pula di Amerika. Tetapi, di sana ulat itu tak pernah menimbulkan kerusakan berat. Ia menduganya karena peranan parasitoid telur. 

Oleh sebab itu, lewat iuran para pengusaha perkebunan tembakau, pada awal November 1910 ia berangkat ke Amerika demi mendapatkan parasitoid Trichogramma minutum (= pretiosum). Di sana, ia menjelajahi perkebunan tembakau di Dallas (Texas). Berhasil. Ia menemukan parasitoid yang dicari.

Karena perjalanan dari Amerika ke Hindia Belanda memakan waktu enam pekan, parasitoid diperkirakan tak akan bisa hidup selama di perjalanan. Maka diputuskanlah untuk memperbanyak parasitoid itu terlebih dahulu di Belanda, baru kemudian dikirim ke Deli.

Untuk itu, LP de Bussy meminta bantuan seseorang di Texas untuk mengumpulkan parasitoid dan mengapalkannya ke Belanda. 

Singkat cerita, pada tahun 1911 parasitoid T. minutum asal Amerika itu berhasil diperbanyak di Belanda, dan keturunannya lantas dikirim ke Deli. Selanjutnya, parasitoid dilepasliarkan di perkebunan tembakau. Hasilnya memuaskan. Setidaknya, itu menurut LP de Bussy.

Akan tetapi, J den Doop (peneliti di IvPZ), pada tahun 1918 atau beberapa tahun setelah pelepasliaran parasitoid, melaporkan hasil berbeda. Menurutnya, meski parasitoid yang dilepasliarkan tak terhitung jumlahnya, serangan H. assulta tak kunjung mereda. 

Usut punya usut ternyata telur H. obsoleta yang diletakkan pada pucuk daun tembakau jarang terparasit, sangat berbeda dengan telur yang diletakkan pada daun ciplukan (Physalis angulata). Ini tampaknya berkaitan dengan permukaan daun tembakau yang bersifat lengket. Imago parasitoid kerap terperangkap karenanya, sehingga gagal memarasit telur H. obsoleta.

***

LP de Bussy adalah sosok yang menarik. Selain sebagai pakar budidaya tanaman, ia juga punya "selingkuhan" profesi lain, yakni membuat filem dokumenter. Kala itu, hitam-putih pastinya.  

Pada bulan Februari dan Maret 1917, saat masih tinggal di Deli, ia sempat membuat filem sepanjang 3.000 m atau 3 km. Setara jarak dari Kampus IPB Baranangsiang ke pertigaan Bantarjati. Bayangkan !. 

Karya filemnya itu di antaranya adalah "De rijstbouw op droge velden bij de Karo-Bataks" [Pertanian padi lahan kering di antara suku Karo-Batak] dan "Volksgebruiken en kunst bij de Karo-Bataks" [Adat istiadat dan kesenian masyarakat Karo-Batak]. 

Andai saja ia hidup pada era digital seperti sekarang ini, sangat boleh jadi ia akan berprofesi ganda sebagai vloger atau youtuber. 

Minatnya pada budaya suku Batak mengantarkannya pada pengangkatan sebagai profesor tamu bidang Indologi di Universitas Utrecht.

***

1918: P van der Goot vs Kutu putih lamtoro 

Entah sejak kapan kutu putih lamtoro, Ferrisia virgata, berada di Hindia Belanda. Tetapi, kutu yang berasal dari Amerika Tengah itu sudah sejak lama menyerang lamtoro, pohon penaung di perkebunan kopi. Dari lamtoro kutu putih itu lalu dapat berpindah menyerang kopi. 

Sementara itu, nun jauh di sana di Australia, ada sejenis kumbang yakni Cryptolaemus montrouzieri yang sudah sangat terkenal sebagai predator kutu putih (mealybug). Julukannya saja "mealybug destroyer". Adalah Albert Koebele pula yang memboyongnya ke Hawaii pada 1892 untuk pengendalan kutu putih Planococcus citri, dan beberapa tahun kemudian ke Kalifornia.  

Menyadari hal itu, dalam perjalanannya pulang dari Belanda menuju Jawa pada Maret 1918, van der Goot singgah dulu di Kalifornia untuk mencari dan memboyong kumbang C. montrouzieri ke Jawa. Tampaknya suhu di luar masih terlalu dingin. Apes !. Tak seekor kumbang pun berhasil ditemukannya.

Dengan sedikit rasa kecewa, ia lantas melanjutkan perjalanannya dan tiba di Honolulu (Hawaii) pada 23 Maret 1918. Di sini pun awalnya kumbang itu sulit ditemukan. Untungnya, di pantai Waikihi ia menemukan banyak kumbang pada tanaman pandan yang terserang kutu Pseudococcus nipae. Tak mau melewatkan kesempatan, ia pun segera mengumpulkanya sebanyak mungkin.

Pada 18 April 1918, dengan menumpang kapal laut, ia meninggalkan Honolulu menuju Jepang dengan membawa 400 ekor kumbang C. montrouzieri. Bersamanya juga, ia memboyong 100 ekor kumbang predator Rhizobius ventralis dan 10 ekor Scymnus biguttatus.

Selama di kapal, ia memberinya makanan berupa kutu putih yang dipelihara pada pucuk beringin (Ficus benjamina) dan cairan gula. Tatkala seluruh kutu putih telah habis dilahapnya, kumbang bertahan hidup dengan minum air gula.

Dengan menumpang kapal "Persia Maru", ia berangkat dari Jepang pada 28 April dan tiba di Hongkong pada 4 Mei. Kapal tidak langsung berangkat ke Singapura, tetapi bersandar dulu di Hongkong selama 5 hari. Masa tunggu ini digunakan oleh van der Goot untuk mengganti tanaman dengan yang lebih segar dan menambah jumlah kutu putih.

Selanjutnya, kapal berangkat dari Hongkong tanggal 9 Mei dan tiba di Singapura 15 Mei. Selama di perjalanan, kematian kumbang tampak meningkat. Mungkin karena suhu yang semakin panas dengan semakin dekatnya ke khatulistiwa.

Dari Singapura, dengan menumpang kapal "Melchior Treub", ia melanjutkan perjalanan menuju Jawa. Tiba di Tanjung Priuk pada 18 Mei 1918. 

Total perjalanan dari Honolulu ke Jawa memakan waktu 40 hari. Selama itu pula banyak kumbang yang mati. Sesampainya di Bogor, yang tersisa hanyalah 200 ekor C. montrouzieri, 10 ekor R. ventralis, dan 5 ekor S. biguttatus. 

Setibanya di laboratorium di Bogor, kumbang segera diberi makan kutu putih. Mereka dengan rakus melahapnya. Lapar sekali !. Maklum selama 40 hari di perjalanan, kumbang itu hanya minum cairan gula. 

Enam hari berselang, kumbang C. montrouzieri mulai bertelur. Sementara, kedua spesies kumbang lainnya malahan mati tanpa sempat meninggalkan keturunan.

Selama tiga bulan pemeliharaan di laboratorium, jumlah kumbang C. montrouzieri meningkat pesat. Tampaknya mereka kini sudah siap "bertugas" di Hindia Belanda.

Uji coba pelepasliaran dilaksanakan pada Juni 1918 di Kebun Raya Bogor pada kompleks pepohonan Castilloa (Moraceae) yang terserang kutu putih. Empat bulan kemudian, pada pohon itu banyak ditemukan larva dan pupa C. montrouzieri. 

"Kumbang C. montrouzieri mampu berkembang biak di alam bebas di Jawa", begitu van der Goot menyimpulkan dengan perasaan lega. 

Atas dasar itu, van der Goot kemudian melepasliarkan kumbang itu di banyak perkebunan kopi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta tempat-tempat lainnya. Sayangnya, belakangan diketahui, kumbang itu tak mampu mempertahankan diri di lapangan. Pasalnya, selama musim hujan biasanya terjadi kelangkaan sumberdaya makanan (kutu putih). 

Upaya van der Goot memboyong kumbang C. montrouzieri ke Jawa boleh dikatakan tak banyak membuahkan hasil. Kisah C. montrouzieri pun seolah terhenti. Tak ada yang memperhatikannya lagi. Tetapi, tidak 10 tahun kemudian (gulir ke bawah sampai ketemu "1928: P van der Goot vs Kutu putih kopi di Toraja").

1923: J den Doop vs Bubuk buah kopi 

Bubuk buah kopi, Stephanoderes hampei (sekarang: Hypothenemus hampei), pertama kali dijumpai di Jawa Barat pada tahun 1909.  Hama itu diperkirakan berasal dari Afrika Tengah. Buktinya, pada tahun 1914 kumbang itu dijumpai dalam biji kopi yang diimpor dari Kongo.

Pada tahun 1919 seluruh perkebunan kopi di Jawa Barat sudah terserangnya. Dan, selanjutnya hama menyebar ke seluruh Jawa hingga Sumatera Utara. Tak lama setelah itu, hama S. hampei telah ditemukan di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Karena dahsyatnya dampak serangan S. hampei terhadap hasil panen, maka sejak 1921 sampai 1925 para pengusaha swasta perkebunan kopi iuran menyediakan dana khusus "Kooffiebessenboeboekfonds" untuk membiayai riset penaggulangan hama baru tersebut. 

Bersumber dari dana itu, pada tahun 1923, J den Doop (peneliti di IvPZ) dikirim ke Uganda untuk mencari musuh alami di sana dan membawanya ke Hindia Belanda. Eureka !. Ia pulang ke Jawa dengan memboyong dua spesies parasitoid, Heterospilus coffeicola dan Prorops nasuta

Sayangnya, hanya spesies yang disebut terakhir yang berhasil dikembangbiakkan di laboratorium. Dengan teknik pembiakan yang mudah dan sederhana, para pemilik perkebunan kopi berhasil memperbanyak parasitoid P. nasuta dan melepasliarkannya di perkebunan kopinya masing-masing. 

Parasitoid yang dilepasliarkan jumlahnya ribuan. Bahkan, konon pada tahun 1925 mencapai 86.000 ekor per bulannya. 

Walakin, beberapa tahun berselang saat dilakukan pengamatan ulang, parasitoid tersebut tak lagi ditemukan di lapangan. Itu artinya, parasitoid P. nasuta tak mampu berkembang biak dan menetap di Hindia Belanda. 

1926: M Ishida vs Kutu daun tebu

Pada tahun 1926 Ishida mendatangkan kumbang predator Coelophora biplagiata, dari Indochina via Taiwan, untuk pengendalian kutu Oregma lanigera (sekarang: Ceratovacuna lanigera) pada perkebunan tebu di Jawa. 

Kumbang itu lantas diperbanyak di Stasiun Percobaan Gula di Pasuruan. Selanjutnya kumbang-kumbang tadi didistribusikan ke berbagai pabrik gula untuk dilepasliarkan di masing-masing perkebunan tebu. Stadia predator yang dilepasliarkan adalah larva instar awal. 

Beberapa waktu setelah pelepasliaran, predator terbukti mampu berkembang menjadi imago. Meski begitu, predator C. biplagiata tak banyak berkontribusi terhadap kematian kutu, dibandingkan musuh alami lokal yang sudah ada sebelumnya. Bahkan, sejak percobaan pelepasaliaran dihentikan, tak ada lagi predator C. biplagiata yang ditemukan di lapangan.

1928: S Leefmans vs Ulat kubis

Tak ada data kapan persisnya ulat kubis Plutella xylostella berada di Hindia Belanda. Tetapi hama yang asalnya dari wilayah Mediterania itu sudah ada di Hindia Belanda jauh sebelum tahun 1900.

Upaya pengendalian hayati P. xylostella pernah diusahakan oleh Leefmans.  Pada tahun 1928 ia mendatangkan parasitoid Angitia fenestralis dari Belanda. 

Rencananya parasitoid itu akan dilepasliarkan di dataran tinggi di Jawa dan Sumatera. Namum, rencana itu tak kesampaian karena parasitoid tak berhasil diperbanyak di laboratorium.

1928: P van der Goot vs Kutu putih kopi di Toraja

Alkisah, pada tahun 1926 IvPZ menerima laporan dari Dr. van der Kolff, konsultan pertanian di Toraja, bahwa sebanyak 50.000 pohon kopi di daerah Taba Parandangan terserang berat oleh kutu putih Phenacoccus iceryoides.

Tak perlu menunggu lama. pada bulan Juni tahun itu juga berangkatlah van der Goot ke TKP serangan. Di sana ia mendapati kutu-kutu itu menutupi cabang muda dan permukaan bawah daun seperti gumpalan kapas putih. Sementara permukaan atas daun diselimuti lapisan embun jelaga yang tebal. Penduduk setempat menyebutya “tai nanook” yang artinya kotoran burung.   

Sebagai follower-nya Albert Koebele, pada tahun 1927 ia mencoba menggunakan kumbang Rodolia rubea yang di Jawa biasanya memangsa kutu Icerya jacobsoni. Sial. Kumbang ini ternyata tak doyan menyantap kutu Ph. iceryoides.

Lantas pada tahun 1927, van der Goot memesan kumbang Novius (Rodolia) cardinalis dari Jepang. Predator tersebut dikirim melalui kapal laut, dan membutuhkan waktu 14-20 hari untuk tiba di Jawa. 

Ada sebanyak 100 kumbang yang berhasil hidup hingga sampai di Bogor. Mereka memang sempat bertelur, tapi larvanya tak mau makan kutu Ph. iceryoides. Akhirnya semua larva mati.  

Setelah itu, van der Goot mencoba kumbang Coelophora biplagiata, asal Formosa, yang dua tahun sebelumnya didatangkan ke Jawa untuk mengendalikan kutu tebu Oregma lanigera. Lagi-lagi, kumbang ini pun menolak makan kutu Ph. iceryoides.

Setelah tiga kali berturut-turut gagal, pada suatu sore yang cerah di rumahnya di Bogor, van der Goot  merenung. 

"Mengapa tidak dicoba saja kumbang C. montrouzieri yang dulu diimpor dari Australia, siapa tahu berhasil", begitu pikiran yang terlintas di kepalanya.

Singkat cerita, pada 1 Januari 1928 sejumlah kecil kumbang C. montrouzieri dikirim melalui kapal KPM ke Makassar. Dari sini, lalu oleh petugas Dinas Pertanian, kumbang tadi dibawa ke Toraja. Sayangnya banyak yang mati.

Oleh karenanya, pada 11 Februari sebanyak 800 ekor kumbang dibawa langsung oleh Mantri Muhadi (asisten Dr. P van der Goot) ke Toraja. Sesampainya di Taba, kumbang segera dilepasliarkan. Mereka tampak makan dengan lahapnya. 

Hasilnya, pada 29 Mei 1928 atau empat bulan setelah pelepasliaran predator, kutu putih Ph. iceryoides sudah jarang dijumpai. 

"Kumbang dengan cepat membersihkan kutu putih di perkebunan kopi", ujar Kepala Desa Parandangan. 

P van der Goot pun semakin bersemangat. Pada tahun 1928, ia mengirim tambahan kumbang sebanyak 3.000 ekor ke Toraja. Empat bulan sejak itu, kebun kopi terbebas dari serangan berat kutu putih. 

Begitu pula sewaktu CJH Franssen berkunjung ke Toraja pada 18 September 1928 untuk melihat pencapaian pengendalian hayati, ia menyaksikan serangan kutu putih menurun tajam. Ia juga menjumpai banyak larva predator di kebun kopi.

Di kalangan petani kopi di Toraja, kumbang C. montrouzieri sangat populer. Banyak dari mereka yang menangkap dan mengumpulkan kumbang itu untuk disebarkan di kebunnya masing-masing. 

Konon, kadang terjadi pertengkaran, bahkan perkelahian, memperebutkan kumbang C. montrouzieri. Ada pula petani yang menjalankan "usaha mikro", yakni memperbanyak predator untuk diperdagangkan.

Pendek kata, sejarah mencatat bahwa kumbang C. montrouzieri, yang didatangkan dari Australia seabad lalu, pernah gagal di Jawa tetapi "menyala" di Toraja. Ia menemukan takdirnya di sana.

1929: P van der Goot vs Penggerek batang padi

Berawal dari presentasi Dr. van Zwaluwenberg, pakar hama dari Hawaii, pada Kongres Ilmu Pengetahuan se-Pasifik di Bandung pada Juni 1929. Ia melaporkan keberhasilan pengendalian hama penggerek Chilo simpleks di Oahu dengan mengimpor parasitoid dari Jepang. Parasitoid tersebut juga terdapat di Foochow (China Selatan). 

Mengingat parasitoid larva penggerek umumnya bersifat generalis, van der Goot ingin mendatangkannya untuk mengendalikan penggerek padi putih, Scirpophaga innotata, dan penggerek padi kuning, Schoenobius bipunctifer (sekarang: Scirpopaga incertulas). Parasitoid yang ingin diimpor adalah dari jenis Centeterus alternecoloratus.

Pada tahun 1929, sebanyak 3172 kokon dikirim dari Foochow melalui kapal laut, dan tahun berikutnya sebanyak 3654 kokon.

Akan tetapi, hasilnya sangat mengecewakan. Banyak imago parasitoid yang muncul dan mati saat di perjalanan. Lain daripada itu, banyak pula muncul hiperparasitoid.

Lebih mengenaskan lagi, dari imago parasitoid yang muncul belakangan, tak seekor pun C. alternecoloratus. Justru yang didapati adalah parasitoid Microbracon chinensis.

Apa boleh buat, akhirnya yang dibiakkan di laboratorium adalah parasitoid M. chinensis. 

Percobaan pelepasliaran parasitoid M. chinensis dilakukan pada bulan Januari 1930 di perkebunan tebu di Cirebon, sawah di Ciomas dan Darmaga (Bogor), Brebes, dan Ciruas (Banten).

Tak ada informasi lanjutan apakah parasitoid M. chinensis berhasil menetap. 

1934: P van der Goot vs Kaktus di Lembah Palu

Di Lembah Palu, wilayah dengan curah hujan rata-rata tahunan amat rendah (556 mm), perkembangan kaktus Opuntia nigricans sangat tak terkendali (Gambar 2). Lahan sawah yang mengering akibat kekurangan air dengan segera disesaki tumbuhan kaktus. Hal serupa terjadi di ladang penggembalaan ternak. Begitu hasil pengamatan Ir. FKM Steup, Kepala Dinas Kehutanan di Manado, kala itu.

Semak Opuntia
Gambar 2. Lahan yang berubah jadi "hutan kaktus", Petobo 18 Mei 1936 (Sumber: Ponto dalam P van der Goot 1940)

Karenanya, pada pertengahan 1928, ia meminta bantuan IvPZ untuk memerangi kaktus itu dengan mengimpor musuh alaminya, seperti yang dilakukan oleh Australia. Namun, permintaan itu tak dapat disetujui dengan segera. Penolakan itu bukan tanpa dasar. Di Australia sendiri pengendalian hayati kaktus dengan serangga masih dalam tahap kajian awal. Belum ada hasilnya.

Lima tahun berselang (1933), permohonan itu diajukan lagi oleh Dinas Kehutanan. Kebetulan, kali ini percobaan di Australia sudah membuahkan hasil yang signifikan.  Keberhasilan itu tak lepas dari didatangkannya ulat Cactoblastis cactorum dari Argentina dan kutu Dactylopius opuntiae dari Kalifornia. 

Pertanyaannya kemudian, serangga mana yang akan diimpor ke Hindia Belanda ?. Karena ada kabar bahwa di Afrika ulat C. cactorum dapat menyerang tomat, maka pilihan jatuh pada D. opuntiae.

Berkat bantuan para pakar dari Australia, kiriman pertama koloni D. opuntiae tiba di Bogor pada Desember 1934. 

Di laboratorium di Bogor, kutu D. opuntiae diperbanyak pada kaktus O. nigricans. Kaktus tadi dikumpulkan dari daerah Pantura melalui bantuan Dr. C Dillwun, Direktur Stasiun Percobaan Gula di Cirebon. 

Dari laboratorium perbanyakan, kutu D. opuntiae lantas dikirim ke Palu. Pengiriman pertama dilakukan pada 12 Maret 1935 dengan kapal KPM melalui Donggala. Selanjutnya dikirim ke Lembah Palu. Sampai dengan 13 November 1935, seluruhnya ada total lima kali pengiriman. 

Kutu D. opuntiae tak langsung dilepasliarkan di lapangan , tetapi diperbanyak dahulu dibawah pengawasan Pak Ponto, Wakil Konsultan Pertanian di sana. Setelah mencapai usia dewasa, baru disebar ke lapangan.

Pelepasliaran kutu D. opuntiae skala kecil dimulai pada Agustus 1935, dan dilakukan secara berkala sepanjang tahun-tahun berikutnya di lahan-lahan yang dipenuhi semak kaktus. Pada Mei 1936, tanaman kaktus mulai banyak yang mati. 

Masyarakat setempat, termasuk petani dan peternak, mulai tertarik dengan pengendalian hayati ini. Mereka dengan bersemangat mengumpulkan tanaman kaktus yang dipenuhi kutu, lalu memindahkannya ke lahan mereka yang ditumbuhi kaktus. 

Kutu D. opuntiae dengan cepat berkembang biak dan menyebar di seluruh Lembah Palu. Pada akhir tahun 1937, seluruh kaktus sudah terserang kutu D. opuntiae, dan sebagian besar telah mati. Bahkan, di lahan yang dulunya penuh sesak dengan kaktus, sekarang sudah bisa dibuat jalan (Gambar 3).

Hasil pengendalian hayati kaktus
Gambar 3. Hutan kaktus setelah pelepasan kutu Dactylopius opuntiae, November 1937 (Sumber: Ponto dalam van der Goot 1940.

"Sekarang petani sudah bisa mengolah dan menanami lahannya lagi, dan peternak dapat menggembalakan kambing dan dombanya lagi di padang rumput", begitu tulis Pak Ponto dalam laporannya tahun 1939 kepada Dr. P van der Goot.

Tak dapat digambarkan bagaimana sukacitanya van der Goot menerima kabar itu. 

1934: CJH Franssen vs Kumbang tanduk kelapa

Pada awal tahun 1934, IvPZ mendapat kunjungan Mr. Baissac dan Mr. Olivier dari Departemen Pertanian Mauritius. Keduanya memberitahukan bahwa di Mauritius mereka berhasil mengendalikan hama tebu Oryctes tarandanus dengan mengimpor parasitoid Scolia oryctophaga dari Madagaskar.

Mengetahui hal itu, pada Juni 1934 IvPZ mengirim surat kepada Dr. Jepson, pakar hama di Mauritius, meminta bantuan untuk mengirim parasitoid S. oryctophaga ke Bogor. Tak ada informasi berapa lama surat itu sampai di alamat tujuan. Yang pasti, kala itu belum ada email.  

Pengiriman parasitoid dilakukan melalui kapal KPM Steamer dan memakan waktu selama sekitar tiga minggu. Semuanya ada dua kali pengiriman. 

Pengiriman pertama tiba di Bogor pada tanggal 12 September 1934. Isinya terdiri dari 30 betina dan 17 jantan. Sangat disayangkan, setibanya di Bogor hanya parasitoid betina yang masih hidup. Itu pun tak semuanya, hanya 20 ekor.

Dua tahun kemudian dilakukan pengiriman kedua yang terdiri dari 24 betina dan 21 jantan. Tiba di Bogor pada 24 Agustus 1936. Kali ini semuanya hidup, kecuali lima jantan. 

Parasitoid selanjutnya diperbanyak menggunakan inang larva Oryctes rhinoceros. Dari hasil perbanyakan ini, beberapa ekor parasitoid dilepasliarkan di Kreteg, Darmaga, Bogor, dan Jakarta pada selang waktu 1936-1937.

Pada awal tahun 1939, Mantri Inen (asisten Dr. Franssen) melakukan survei lapangan untuk mengevaluasi hasil pelepasliaran parasitoid. Miris, ia tak menemukan seekor pun larva O. rhinoceros yang terparasit S. oryctophaga

Franssen pun mencoba menghibur diri dengan mengatakan bahwa ketidakberhasilan itu karena jumlah parasitoid yang dilepasliarkan terlalu sedikit. Mungkin itu benar. Tapi juga bisa karena O. rhinoceros memang bukan inang yang sesuai bagi parasitoid S. oryctophaga.

1935: CJH Franssen vs Uret padi gogo

Pengendalian hayati uret padi gogo, Holotrichia helleri (sekarang: Phyllophaga helleri), berawal dari kunjungan Dr. Jepson ke Hindia Belanda pada tahun 1935. Kedatangannya itu untuk mengumpulkan parasitoid Campsomeris guna pengendalian uret di Mauritius. Selepas dari Hindia Belanda, ia berencana melanjutkan perjalanan ke Filipina dengan tujuan yang sama. 

Mumpung Jepson mau ke Filipina, Franssen meminta tolong sekalian mencarikan parasitoid Campsomeris modesta di sana untuk dikirim ke Hindia Belanda. Dengan senang hati, Jepson mengiyakannya.

Setiba di Filipina, melalui bantuan Prof. Uichanco, Jepson mengirim sebanyak 1210 ekor parasitoid C. modesta ke Jawa. Sayangnya, saat tiba di Bogor pada 12 Oktober 1935, hanya tersisa 164 ekor parasitoid yang masih hidup. 

Mereka lantas dibiakkan di laboratorium IvPZ dengan menggunakan uret H. helleri yang digali dari ladang padi gogo di Bogor. Pembiakan parasitoid berlangsung sejak Oktober 1935 hingga Januari 1937.

Selama tahun itu pula dilakukan uji coba pelepasliaran parasitoid di beberapa lokasi di Bogor, termasuk di Leuwiliang dan Kreteg. Pelepasliaran dilakukan di ladang padi gogo yang banyak terserang uret, serta yang ada tumbuhan Stachytarpheta yang sedang berbunga. 

Mengapa harus ada Stachytarpheta ?. Imago parasitoid Campsomeris sangat menyukai nektar dari bunga gulma ini. Tahun 1987, sewaktu berkunjung ke perkebunan tebu yang terserang uret di Pelaihari (Kalsel), saya dan Pak Soemartono (almarhum) sempat menyaksikan bunga Stachytarpheta yang kerap didatangi oleh imago Campsomeris.

Pada tahun 1936 dan 1937, uji coba pelepasliaran diperluas ke daerah Kediri dan Klaten. Parasitoid dikirim dengan kereta malam agar tidak kepanasan. Jumlah parasitoid yang dilepasliarkan bervariasi dari 25 hingga 250 ekor, campuran jantan dan betina.

Pada tahun 1939, atau dua tahun setelah pelepasliaran parasitoid, Franssen ingin mengevaluasi hasilnya. 

Di ladang padi gogo di Bogor yang sebelumnya dilepasi parasitoid, ia menggali tanah dan mengumpulkan sebanyak 400 ekor uret. Naas, tak satu pun terparasit.

Hal serupa diaporkan dari hasil pengumpulan uret di Kediri dan Klaten pada tahun 1940. Ini artinya, parasitoid C. modesta tak berhasil menetap di Hindia Belanda.

1939: P van der Goot vs Tembelekan di Timor

Tembelekan, Lantana camara, didatangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1860. Awalnya, tanaman yang berasal dari Amerika Tengah itu disebarluaskan ke berbagai negara sebagai tanaman hias. 

Pertumbuhannya yang sangat cepat telah mengubah sosoknya menjadi gulma yang membahayakan. Tak terkecuali di Timor. Area penggembalaan sapi di sana menyusut karena penuh sesak ditumbuhi tembelekan. Keberlanjutan usaha peternakan rakyat pun terancam. 

Oleh karena itu, ketika pada tahun 1938 konsultan pertanian untuk Timor mengetahui bahwa di Australia tembelekan berhasil dikendalikan dengan kepik Teleonemia scrupulosa, ia meminta bantuan IvPZ untuk mengkajinya. Persisnya, apakah metode pengendalian hayati seperti yang dilakukan di Australia bisa diterapkan di Timor.

Permintaan konsultan pertanian tersebut lantas dipelajari dengan seksama oleh Dr. LGE Kalshoven yang saat itu menjabat Kepala IvPZ. Konsultasi juga dilakukan dengan para pakar di Departemen Pertanian dan Kehutanan. 

"Kepik T. scrupulosa layak untuk diimpor dari Australia", begitu kesimpulan akhir Kalshoven.

Kiriman kepik diterima di Bogor pada tahun 1939. Di bawah pengawasan Dr P. van der Goot, yang baru saja kembali dari Belanda, kepik tersebut dipelihara dalam kurungan di salah satu ruang di IvPZ. Ruang tadi berfungsi sebagai tempat perbanyakan kepik dan sekaligus karantina. Sembari juga diteliti apakah kepik T. scrupulosa bisa berpindah inang ke tumbuhan lain yang sefamili dengan tembelekan (Verbenaceae). Misalnya jati. 

Tatkala kepik dinyatakan telah memenuhi persyaratan keamanan hayati dan jumlahnya cukup banyak untuk dilepasliarkan, tetiba Dinas Kehutanan mengajukan keberatan. Pasalnya, tembelekan sangat penting dalam menahan erosi di lereng-lereng gunung yang gersang di Timor.. 

Apa boleh buat, pelepasliaran kepik T. scrupulosa di Timor dibatalkan. Dan, tahun 1940, aktivitas laboratorium perbanyakan massal di Bogor resmi dihentikan, serta seluruh kepik yang masih hidup dimusnahkan. 

Meski begitu, kisah kepik T. scrupulosa tak serta merta berakhir.

Sebelas tahun kemudian, persisnya tahun 1951, secara tak disangka-sangka Mantri Muhadi menemukan kepik T. scrupulosa di Sukamantri (lereng Gunung Salak), dan beberapa bulan kemudian di Megamendung (Bogor). 

"Ooh.., rupanya dulu, ada kepik yang kabur dari kurungan pembiakan", begitu barangkali kata-kata tak terucapkan yang tersimpan jauh dalam lubuk hati Mantri Muhadi. 

Sudah tentu, ini tadi tak ada kaitannya dengan tagar "kabur aja dulu" yang belakangan viral di media sosial.

Saya juga sekarang jadi paham mengapa kepik T. scrupulosa tak ada disebut-sebut di dalam buku Kalshoven. Padahal, padanya melekat nilai sejarah (historical values). Tak lain karena buku Kalshoven jilid I terbit tahun 1950, sementara Mantri Muhadi menemukan kepik itu setahun setelahnya.

Pertengahan tahun 1980-an, sewaktu saya dan Pak Djoko Prijono (almarhum) bertugas sebagai dosen pengampu mata kuliah Entomologi Umum, kepik T. scrupulosa merupakan serangga yang tak terpisahkan dari praktikum pengenalan famili Tingidae. 

***

Demikianlah jejak panjang perjalanan pengendalian hayati klasik di Hindia Belanda tempo dulu. Setidaknya ada tujuh followers Albert Koebele di Hindia Belanda dengan dua capaian fenomenal, yakni pengendalian hayati kutu putih kopi di Toraja dan kaktus di Lembah Palu.


Referensi

Bartlett BR, Clausen CP, DeBach P, Goeden RD, Legner EF, McMurtry JA, Oatman ER. 1978. Introduced Parasites and Predators of Arthropod Pests and Weeds: A World Review. Washington DC: Agricultural Service USDA.

Franssen CJH. 1940. De import op Java van de dolkwesp Campsomeris marginella Kl. subsp. modesta SM. ter biologische bestrijding van kleine soorten engerlingen. Landbouw XVI(12): 750-758.

Franssen CJH. 1941. De import van de dolkwesp Scolia oryctophaga Coq. ten behoeve van de biologische bestrijding van den klappertor. Landbouw XVI(7) : 396-403.

Leefmans S. 1929. Biologische bestrijding van insectenplagen en hare toepassing in Nederlandsch Oost-Indiƫ. DE INDISCHE MERCUUR 52(7):2-4.

Rao VP, Ghani MA, Sankaran T, Mathur KC. 1971. A Review of The Biological Control of Insects and Other Pests in South-East Asia and The Pacific Region. Farnham Royal (UK): Commonwealth Agricultural Bureaux.

Tjoa Tjien Mo. 1957. Memberantas hama-hama tumbuh-tumbuhan dengan musuh-musuhnya. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian Rakjat.

van der Goot P. 1940. De biologische bestrijding van de Cactus-plaag in het Paloe-dal (Noord-Celebes). XVI (7)L 413-429.

van der Goot P. 1948. Biologische bestrijding van witte luis (Phenacoccus iceryoides G.) op koffie in de Toradja-landen. Landbouw XX(3): 107-116.

van der Goot P. 1948. De import op Java van Microbracon chinensis Szep., een parasiet van boorderrupses in het padi-gewas. Landbouw XX(2): 75-84.

van der Vecht J. 1953. Het lantana-wantsje in Indonesie (Teleonemia scrupulosa Stal, Fam. Tingidae). Tijdschrift over Plantenziekten 59: 170-173.

Internet
L. P. de Bussy. 
https://filmdatabase.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/l-p-de-bussy

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2025. Melacak jejak pengendalian hayati klasik di Hindia Belanda. https://www.serbaserbihama.com/2025/03/pengendalian-hayati-klasik-hindia-belanda.html. Diakses tanggal (sebutkan).


Tuesday, February 25, 2025

Duo Pelopor Studi Hama di Hindia Belanda: 2. Kisah Dr. JC Koningsberger

JC Koningsberger tiba di Jawa pada tahun 1894. Ia dikenal sebagai pelopor studi hama tanaman di Hindia Belanda, penggagas pendirian museum zoologi, serta sempat menjabat Direktur Kebun Raya Bogor. Flu spanyol yang merebak pada tahun 1918-1919 memaksanya meninggalkan Jawa.

Tuesday, December 31, 2024

Potret Biodiversitas Capung di Bogor: Bagian II. Anisoptera

Setidaknya ada 38 spesies capung (Anisoptera) yang menghuni habitat perairan di Bogor. Tiga di antaranya, Amphiaeschna ampla ampla (Rambur), Leptogomphus lansbergei lansbergei Selys, dan Paragomphus reinwardtii Selys, berstatus endemik Jawa dan sangat langka. Konservasi ketiganya suatu keniscayaan.

Wednesday, September 25, 2024

Hama Padi Dekade '70-an: Darurat Wereng Cokelat

Jauh sebelum viral selepas Keputusan MK, kata darurat pernah disematkan pada wereng cokelat setengah abad lalu oleh Majalah Tempo.

Friday, August 23, 2024

Situasi Hama Padi Pascakemerdekaan: Dekade '50-an dan '60-an

Perkembangan irigasi dan intensifikasi memicu pergeseran spesies hama padi. Penggerek padi putih digantikan oleh penggerek padi kuning, muncul hama ganjur, bahkan "hilal" wereng cokelat mulai tampak.