Saturday, March 26, 2022

KF Holle, Juragan Teh Sahabat Petani

Oleh: Aunu Rauf

Ketika sedang menyiapkan naskah “Sejarah Wereng Cokelat di Indonesia: Perubahan Status dari Hama Potensial ke Hama Utama", saya dibawa berselancar oleh Google, dan akhirnya cukup lama terdampar di "gudang" buku digital Google Books. Di tempat ini saya menemukan buku lawas terbitan tahun 1863 yang berjudul “Bij Dragen Tot De Kennis Der Ziekten en Plagen van Het Padi-Gewas” (Kontribusi Pengetahuan Tentang Penyakit dan Hama Tanaman Padi) (Gambar 1B). Versi pdf dari buku ini dapat diunggah sepenuhnya dan dengan cuma-cuma. Ini merupakan kebijakan dari Google Inc. untuk buku-buku lawas yang tanpa hak cipta. Tampaknya djaman doeloe orang berbagi ilmu secara ikhlas, tanpa ada niatan sedikit pun untuk mengomersialkannya.

Penyusun buku ini bernama KF Holle atau lengkapnya Karel Frederik Holle, seorang berkebangsaan Belanda. Seandainya yang menulis buku itu seorang ahli, lulusan perguruan tinggi, mungkin tidak akan membuat saya penasaran untuk mengetahui lebih lanjut siapa dia. Tetapi KF Holle adalah seorang juragan teh di Garut, pendidikannya mungkin sederajat sekolah menengah. Ia peminat kesusastraan Sunda, pencinta pertanian, serta sangat peduli dengan kehidupan orang-orang bumiputra, khususnya petani. Dalam kesehariannya di Garut, ia selalu berbicara dengan bahasa Sunda. Tidak jarang ia mengenakan peci Turki di kepalanya (Gambar 1A). Berikut ini adalah kisah kehidupan Karel Frederik Holle yang penuh warna.

Buku karangan KF Holle
Gambar 1. Karel Frederik Holle (A) (Foto: KITLV 33502), Publikasi tentang penyakit dan hama padi yang disusun olehnya (B)

Karel Frederik Holle lahir di Amsterdam pada 9 Oktober 1829, dari ayah bernama Pieter Holle dan ibu Alexandrine van der Hucht. Pieter Holle bekerja sebagai penyuling gula di Koblenz (Jerman), namun usaha penyulingannya gagal, sehingga pada tahun 1836 ia memutuskan untuk pulang ke Amsterdam. Adalah kemudian pamannya, Willem van der Hucht pemilik kapal layar, yang mengajak keluarga Holle merantau dan mengadu nasib di Hindia Belanda. Van der Hucht cukup paham tentang Jawa dari beberapa kali kunjungan sebelumnya, dan mempunyai koneksi yang memungkinkan Pieter Holle bisa dengan mudah memperoleh kontrak pekerjaan di pabrik gula.

Mereka pun memulai pelayarannya dengan kapal Sarah Johanna pada 25 September 1843, meninggalkan negeri tempat kelahirannya menuju Hindia Belanda. Van der Hucht bertindak sebagai nakhodanya. Di dalam kapal layar itu ikut serta Karel Frederik Holle yang waktu itu masih berusia 14 tahun, disertai adik-adiknya dan ibunya. Setelah menghabiskan waktu hampir 8 bulan di tengah gelombang samudera, akhirnya pada 18 Mei 1844 mereka tiba di Batavia.

Setibanya di Jawa, ternyata tidak seorang pun berkesempatan mendapat pekerjaan di perusahaan gula seperti yang terbayangkan sebelumnya. Pamannya (Van der Hucht) mengontrak perkebunan teh Parakan Salak (Sukabumi), sedangkan ayahnya (Pieter Holle) bekerja sebagai administratur perkebunan kopi Bolang di daerah Jasinga (Bogor).

Suatu saat, Pieter Holle memboyong anak-anaknya dan istrinya yang sedang hamil tua untuk tinggal di rumah van der Hucht di Parakan Salak. Ini dilakukan agar bila istrinya kelak melahirkan lebih mudah mendapatkan pelayanan medis. Mereka berangkat dari Jasinga dengan naik kuda, sementara istrinya yang lagi hamil ditandu secara bergantian. Setelah 12 jam melewati perjalanan melalui daerah berbukit akhirnya mereka tiba di Parakan Salak. Sepulangnya dari Parakan Salak, mungkin karena kelelahan, Pieter Holle meninggal dunia. Jadilah KF Holle seorang yatim. Selanjutnya ia di bawah pengasuhan pamannya (van der Hucht).

Karena kedekatan pamannya dengan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen (1845-1851), KF Holle sempat mengecam pendidikan privat bersama anak Gubernur Jenderal dan anak-anak lainnya yang dilaksanakan di Istana Buitenzorg pada masa itu. Pada tahun 1846, setelah tamat sekolah, ia bekerja sebagai pegawai di Kantor Residen Cianjur. Walaupun kurang dari satu tahun ia tinggal di Cianjur, di dalam hatinya mulai tumbuh rasa cinta terhadap kebudayaan Sunda. Pada tahun 1847 ia dipindahkan menjadi pegawai di Direktorat Budidaya di Batavia dan kemudian sejak tahun 1851 menjadi pejabat pada Direktorat Sumberdaya dan Domain.

Pada tahun 1856, setelah 10 tahun bekerja di pemerintahan, ia memutuskan untuk pensiun dini, karena ingin hidup mandiri dan bebas. Setelah itu, pada tahun 1858 ia menjadi administratur perkebunan teh Cikajang, Garut, Pada tahun 1862 ia menyewa lahan di lereng bagian utara dari Gunung Cikurai dan mengolahnya menjadi perkebunan teh milik sendiri yang kemudian dinamainya Perkebunan Teh Waspada. Segera setelah menetap di Garut, ia mulai menekuni lebih mendalam tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan Sunda. Ia juga menjalin persahabatan dengan Penghulu Besar Limbamgan (Garut) yang bernama Raden Haji Mohammad Moesa, yang sama-sama menyukai sastra Sunda. Persahabatan di antara keduanya berakhir hingga akhir hayat, ketika Haji Moesa meninggal di pangkuan KF Holle pada 10 Agustus 1886.

KF Holle memiliki kepedulian yang sangat kuat terhadap kehidupan petani pribumi, khususnya petani padi. Kepedulian ini muncul sebagai akibat dari diterapkannya sistem tanam paksa yang telah menyengsarakan rakyat, seperti kelaparan yang terjadi di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Pemerintah kolonial juga kurang memperhatikan pertanian pribumi. Lebih dari itu Holle memandang cara bertani orang pribumi masih terbelakang dan banyak ditemukan takhayul di dalamnya. Ia juga mempunyai pandangan bahwa orang Jawa banyak tersita waktunya pada budidaya kopi atau kewajiban lainnya dari pemerintah, sehingga sawah mereka terbengkalai. Inilah yang menyebabkan nuraninya tergerak untuk membantu petani pribumi dengan menulis berbagai artikel tentang budidaya pertanian.

Artikel pertamanya berjudul Mededeelingen Omtrent den Ristbouw op Java (Pemberitaan Tentang Budidaya Padi di Jawa) terbit dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch Indie tahun 1862. Hole melihat bahwa para petani pribumi masih kurang cakap dalam bercocok tanam padi, termasuk dalam hal pemilihan benih dan jenis padi, pengolahan tanah, penentuan waktu tanam, penyiapan bibit, kedalaman menanam, penyiangan gulma, pengairan, dan pemanfaatan jerami sebagai pupuk. Bahkan Holle juga mencatat tentang adanya fenomena uitputting van den grond (keletihan tanah). Bila cara budidaya padi ini dapat diperbaiki, Holle berkeyakinan petani akan memperoleh hasil yang lebih banyak.

Pada tahun berikutnya (1863), Holle menerbitkan artikel “Bij Dragen Tot De Kennis Der Ziekten en Plagen van Het Padi-Gewas” tentang hama dan penyakit padi, seperti disebutkan terdahulu di awal tulisan ini. Bahan untuk penyusunan kedua artikel ini kemungkinan besar dikumpulkan oleh Holle selama tahun 1850-an, sewaktu ia masih bekerja di pemerintahan. Selama kurun waktu itu tampaknya ia sering blusukan ke berbagai tempat di wilayah Hindia Belanda, sambil mengumpulkan informasi yang terkait dengan bercocok tanam padi.

Sejak 1871 Holle menerbitkan serial artikelnya pada De Vriend van den Javaanschen Landman (Sahabat Petani Jawa), majalah yang dikelolanya sendiri (Gambar 2A). Tujuan dari penerbitan majalah ini adalah agar petani merawat lahan, tanaman, dan ternak dengan lebih baik. Artikelnya yang ditulis secara lengkap adalah tentang panduan bercocok tanam padi. Di dalamya disajikan cara pemilihan benih, pembuatan persemaian, penanaman secara berjajar, penggunaan pupuk kandang, dan lain-lain. Pada masa itu petani setempat menamakan cara bercocok tanam yang demikian dengan sebutan metode Holle.

Di luar bercocok tanam padi, artikel lainnya meliputi pemeliharaan ikan di sawah, bercocok tanam jagung, panduan pembuatan sengkedan di lahan kering, pembuahan pada waluh dan sejenisnya, dan lain-lain. Agar pesan-pesan yang tertulis dalam majalah ini sampai kepada petani, Holle meminta bantuan rekan-rekannya untuk mengalihbahasakannya secara bebas ke dalam bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan Melayu. Majalah edisi bahasa Sunda diberi nama “Mitra Noe Tani” (Gambar 2B), sementara edisi bahasa Melayu diberi nama sesuai isinya yaitu “Bahoea Inilah Kitab pada Menjatakan Hal Bertanam Padi dan Lain-Lain Tanam-Tanaman” (Gambar 2C). Majalah terjemahan itu lalu disebarluaskan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penguasa setempat, dengan himbauan agar petani menerapkan praktik bercocok tanam yang disarankan oleh Holle.

Majalah KF Holle
Gambar 2. Majalah De Vriend van den Javaanschen Landman versi bahasa Belanda (A), Sunda (B), Melayu (C)

Upaya Holle untuk memperbaiki kesejahateraan petani tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga melalui pembuatan petak percontohan, bekerjasama dengan tokoh setempat. Misalnya, untuk membuktikan bahwa penambahan gemuk - istilah yang digunakan waktu itu untuk pupuk - dapat meningkatkan hasil panen, ia meminta Haji Moesa untuk mencobanya di lahannya sendiri. Setelah panen, Haji Moesa lalu memberikan testimoni berupa surat tertanggal Februari 1863 yang ditujukan kepada Holle (Gambar 3). Pada intinya surat itu berisi kesaksian Haji Moesa bahwa penambahan kotoran kerbau ke sawah dapat meningkatkan hasil panen padi. Konon katanya Holle juga sering berkeliling menemui petani pribumi, mengajarkan cara bercocok tanam padi yang baik. Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan Karel Frederik Holle sebagai perintis penyuluhan pertanian di Indonesia.

Testimoni manfaat kotoran kerbau sebagai pupuk
Gambar 3. Testimoni HM Moesa kepada KF Holle tentang penggunaan kotoran kerbau sebagai pupuk di sawah (Sumber: De Vriend van den Javanschen Landman, 1871)

Pada tahun 1863 Holle memasukkan kacang tanah yang bertipe tegak dari Inggris. Sebelumnya kacang tanah yang banyak ditanam oleh petani di Jawa Barat adalah tipe merambat yang berasal dari Cina. Warisan lainnya peninggalan Hole adalah domba garut. Salah satu tetua dari domba garut adalah domba merino yang didatangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dari Eropa. Pada tahun 1864 domba ini diserahkan kepada Holle untuk diternakkan di tempatnya di Garut. Persilangan antara domba merino dan domba lokal menghasilkan domba garut.

Di luar bidang pertanian, KF Holle juga meningggalkan warisan di bidang pendidikan dan kebudayaan. KF Holle adalah orang pertama di Priangan yang mendirikan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers pada tahun 1866. Sekolah ini didirikan dengan tujuan untuk mendidik calon-calon guru pribumi. Ia juga banyak membukukan cerita rakyat. Salah satu yang paling populer adalah buku “Tjarita koera-koera djeung monjet” atau versi bahasa Melayunya "Dongeng Monjet dengen Koera-Koera". Buku ini diangkat dari cerita rakyat “Sakadang kuya jeung sakadang monyet”. Cerita ini biasanya disampaikan para ibu sebagai dongeng pengantar tidur pada anak-anaknya. Sebagai pencinta bahasa dan kebudayaan Sunda, KF Holle berkesempatan membuat transkripsi prasasti Batu Tulis yang dituangkan dalam tulisannya berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg pada tahun 1869.

Karena sumbangannya yang besar terhadap masyarakat dalam bidang pertanian, pendidikan, dan juga administrasi pemerintahan, pada 27 Desember 1871 Gubernur Jenderal P Mijer (1866-1872) mengangkat KF Holle sebagai Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi pada Departemen Urusan Internal. Diminta atau tidak diminta, Holle selalu memberikan saran dan nasihat kepada pemerintah kolonial, mencakup: penyediaan sarana pengajaran untuk anak-anak bumiputera, penerbitan karya satra dari penulis pribumi, sikap pemerintah Belanda terhadap politik Islam. Tetapi nasihat yang paling banyak diberikan adalah tentang perbaikan pertanian, khususnya dalam hal bercocok tanam padi. Pada masa itu KF Holle sangat terkenal karena majalahnya “De Vriend van den Javaanschen Landman”.

Pada akhir tahun 1870-an KF Holle menderita sakit yang cukup serius. Walaupun kemudian penyakitnya hilang, ia tidak sepenuhnya sembuh, kemana-mana kalau berjalan harus dengan bantuan tongkat. Karena kondisi kesehatannya ini, ia tidak bisa lagi mengelola perkebunannya dengan baik. Akibatnya pendapatan yang diperoleh dari perkebunan teh menurun. Kondisi kesehatan dan ekonomi yang memburuk, apalagi hidup tanpa pasangan, membuat hidupnya berasa getir. Pada tahun 1889 ia memutuskan untuk meninggalkan Perkebunan Teh Waspada dan tinggal di rumah adik bungsunya, Albertine Holle, di Buitenzorg. KF Holle meninggal pada tahun 1896 di Bogor, jenazahnya dimakamkan di sisi makam ibunya di daerah Tanah Abang.

Untuk mengenang jasa-jasanya, pada tanggal 29 Oktober 1899 pemerintah Hindia Belanda meresmikan tugu KF Holle di alun-alun Garut, yang di bawahnya ada tulisan “De Vriend van den Landman” (Sahabat Petani) (Gambar 4A). Pada awal pendudukan Jepang tahun 1942, patung tersebut dihancurkan. Sebagai gantinya, pada tanggal 24 Juli 2001 dibuat replikanya yang ditempatkan di Perkebunan Teh Giriawas-Cisaruni, Cikajang, dimana KF Holle pernah menjadi administrator dari tahun 1856 sampai 1862. Selain itu, nama Holle juga diabadikan menjadi nama jalan di Garut, yakni Jalan Holle, yang setelah Indonesia Merdeka diganti menjadi Jalan Mandalagiri. Jalan Haji Agus Salim yang juga dikenal sebagai Jalan Sabang di Jakarta, sebelum tahun 1950 bernama Laan Holle (Jalan Holle) (Gambar 4B).

Penghargaan terhadap Holle
Gambar 4. Tugu Holle di Garut (A) (Foto: KITLV 103922); Laan Holle (Jalan Holle) di Batavia (B) (Foto: KITLV 13367)

Referensi

Her Suganda. 2014. Kisah Para Preanger Planters. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Janssen CW. 1888. KF Holle Wat een Nederlander in Indie doen kan: Eene Schets. Amsterdam: JH de Bussy.

van den Berge T. 1998. Karel Frederik Holle: Theeplanter in Indie 1829-1896. Amsterdam: B Bakker.

van den Berge T. 2002. Holle, Carel Frederik (1829-1896). In: Biographical Dictionary of the Netherlands . http://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn5/holle.

4 comments:

Yaherwandi said...

Terima kasih pak. Informasi yg sangat bermanfaat.

Evie Adriani said...

Kisah yang sangat menginspirasi. Terimakasih telah berbagi pak.

Sang Pengamat Hama said...

Terima kasih yang sama atas apresiasinya.

Sang Pengamat Hama said...

Terima kasih telah mampir di blog ini.