Wednesday, October 26, 2022

Prof. Dr. J van der Vecht, Pakar Hymenoptera dan Perintis Penelitian Hama Lada

Oleh: Aunu Rauf

Selepas Dr. LGE Kalshoven, pada tahun 1951, meninggalkan Bogor untuk mudik dan menetap selamanya di tanah kelahirannya Belanda, peranannya sebagai dosen entomologi di Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor (kini IPB University) digantikan oleh  Prof. Dr. Jacobus van der Vecht (Gambar 1).

J van der Vecht
Gambar 1. Jacobus van der Vecht (Sumber: C van Achterberg, 1992)

Ia tinggal di Bogor selama empat tahun (1952-1955).  Selain memberi kuliah entomologi, J van der Vecht juga diangkat sebagai Kepala Bagian Entomologi di Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor. Salah satu muridnya adalah almarhum Prof. Soemartono Sosromarsono.

"Saya mengikuti kuliahnya dan juga ujian lisan di tingkat Kandidat I dan II", begitu chatting-an terakhir almarhum Pak Soemartono di WAG Keluarga Besar PTN pada 20 Maret 2022, kurang dari sebulan sebelum beliau wafat.

Bahwa Prof. J van der Vecht adalah guru entomologi Pak Soemartono, itulah yang menjadi alasan mengapa saya lebih mendahulukan mengangkat riwayat hidupnya, menyusul riwayat Dr. LGE Kalshoven (klik di sini), ketimbang entomologiwan berkebangsaan Belanda lainnya. 

Jauh sebelum menjadi dosen entomologi di Bogor, J van der Vecht telah menghabiskan waktunya lebih dari 20 tahun berkiprah di Hindia Belanda (Indonesia). 

***

Lantas, siapakah sebenarnya J van der Vecht dan apa saja kiprahnya ?

Jacobus van der Vecht lahir pada tanggal 5 Juli 1906 di Den Haag. Ayahnya bekerja sebagai keldermeester (supervisor pembuatan minuman anggur) di istana Ratu Sepuh Emma. Ia juga adalah seorang yang menggemari dunia serangga. Tidak heran, bila di rumahnya ia memelihara beragam kupu-kupu. 

Di waktu senggangnya, ia sering mengajak anak-anak lelakinya jalan-jalan menikmati alam bebas. Kebiasaan inilah yang menanamkan passion biologi pada diri J van der Vecht. Tetapi, tidak pada anak-anak lelaki yang lainnya.

Di sekolah menengah di Den Haag, J van der Vecht tergolong siswa yang cerdas. Ini mengantarkannya pada dua tawaran beasiswa sekaligus, dari kota kelahirannya dan dari pemerintah pusat. Dengan beasiswa ini, ia pun kemudian melanjutkan studi di Universitas Leiden dengan mengambil program studi biologi. 

Di perguruan tinggi ini, ia mulai mempelajari serangga Hymenoptera. Ia punya minat yang kuat pada taksonomi lebah genus Andrena dan tawon famili Sphecidae. Menginjak usia 20 tahun, ia sudah menulis empat buah artikel tentang kedua serangga tersebut di jurnal bergengsi: Zool Med Leiden, Ent Ber Amst, Levende Natuur.  Penelitiannya tentang Hymenoptera mengantarkannya pada perolehan gelar Master dari Universitas Leiden pada tahun 1928.

Pada tahun yang sama (1928), dengan berbekal ijazah master, ia berangkat menuju Hindia Belanda (Indonesia) untuk bekerja sebagai entomologiwan pada Instituut voor Plantenziekten (Balai Penyelidikan Hama Tanaman/BPHT) di Buitenzorg (Bogor). Tugas utamanya meneliti hama-hama penting pada pertanaman rakyat dan mengembangkan cara pengendaliannya.

Selama di Bogor, waktu luangnya sering diisi dengan bermain tenis, olah raga yang paling digemarinya. Pernah suatu ketika, pada saat sedang bermain tenis, bola tenis mengenai salah satu matanya. Akibatnya, penglihatannya yang sebelah kiri nyaris tidak berfungsi.

Sebagai peneliti di BPHT, kiprah pertamanya dalam bidang hama tanaman yaitu tatkala ia mendapat tugas meneliti hama kepik yang menyerang pertanaman lada di Bangka (Gambar 2). 

Kebun lada
Gambar 2. Kebun lada di Bangka (Sumber: Tropenmuseum)

Hama ini pertama kali ditemukan di Sungailiat oleh Dr. WA Horst, seorang penasihat pertanian di Pangkalpinang. Di British Museum (London), kepik tadi diidentifikasi sebagai spesies baru dan diberi nama Dasynus piperis China. Ini dapat ditelusuri dari publikasi berjudul "China WR. 1928. A new species of Dasynus Brum. (piperis sp. n.) injurious to pepper in Java (Heteroptera, Coreidae)", dalam Bulletin of Entomological Research XIX: 253-254.  

Di Bangka ia menghabiskan waktu selama tiga tahun (1930-1932) melakukan penelitian lapangan. Penelitiannya mencakup biologi dan ekologi, termasuk musuh alami kepik D. piperis. Data dari penelitian lapangan ini lantas dijadikan bahan untuk penyusunan disertasinya yang berjudul "De grote pepperwants or semoenjoeng (Dasynus piperis China)" (Gambar 3). Ia dianugerahi gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada sidang terbuka di hadapan Rektor Universitas Leiden, pada 15 Desember 1933.

Disertasi Dasynus piperis
Gambar 3. Kulit muka disertasi J van der Vecht (Sumber: Delpher Royal Library of the Netherlands)

Pada saat yang hampir bersamaan, ia juga meneliti hama lada lainnya yaitu kumbang moncong Lophobaris piperis Marsh. (Coleoptera: Curculionidae) dan kepik renda Elasmognathus (kini Diconocoris) hewitti (Hemiptera; Tingidae). Kedua hama ini tak pernah ada yang meneliti sebelumnya. Kiranya, J van der Vecht layak menyandang julukan perintis penelitian hama lada.

Penelitian hama lainnya yang cukup mendalam yaitu tentang fluktuasi populasi hama kelapa Artona catoxantha Hamps. (Lepidoptera: Zygaenidae). Datanya berasal dari hasil pengamatan selama 5 tahun (1936-1940) atau 40 generasi hama. Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa Balong (pantai utara Jawa Tengah). Data yang dikumpulkan meliputi banyaknya ulat beserta parasitoidnya yang terdapat pada daun kelapa. Pengamatan dilakukan oleh asisten lapangan, yang kala itu dikenal dengan julukan "Mantri Klapa" (Gambar 4). 

Pengamatan hama kelapa
Gambar 4. Asisten lapangan sedang mengamati ulat Artona catoxantha (Sumber: J van der Vecht, 1950)

Hasil penelitian ini tadinya direncanakan untuk dipublikasikan pada tahun 1942. Namun, pada awal pendudukan Jepang, contoh cetak (proof) berikut gambarnya raib. Beruntung, satu kopi naskah berhasil ditemukan. Yang dimaksud kopi disini, tentunya adalah salinan kertas karbon. Maklum, kala itu belum ada komputer dan mesin fotokopi. 

Setelah dilengkapi dengan gambar yang baru, akhirnya naskah ini diterbitkan pada tahun 1950 dengan judul "Population Studies on the Coconut Leaf Moth Artona catoxantha Hamps (Lep., Zyg.)". Sepenggal kisah ilmiah tentang interaksi: hama-parasitoid-hiperparasitoid.

Ia juga memiliki kompetensi dalam bidang nematologi. Bab I dari buku Kalshoven, yang berisi bahasan tentang nematoda, ditulis oleh J van der Vecht. Ia turut pula berkontribusi pada penelitian untuk mengungkap penyebab penyakit mentek pada padi. Kala itu, penyebab penyakit mentek belum diketahui dengan pasti. Terdapat dugaan bahwa gejala mentek disebabkan oleh rusaknya perakaran karena serangan nematoda. Kini, kita mengenal mentek sebagai penyakit tungro.

Bukan Jacobus van der Vecht namanya jika dengan mudah bisa melupakan begitu saja Hymenoptera. Di sela-sela kesibukan meneliti hama, ia menyisihkan sebagian waktunya untuk lebah dan tawon. Kiprahnya pada fauna Hymenoptera Indo-Australia menghasilkan publikasi tentang taksonomi Trigonalyidae, Vespidae, Sphecidae, Apidae, Sapygidae, dan Pompilidae. 

Ia juga punya minat pada studi biogeografi. Ini dimulai dengan studi variasi corak warna dari bangbara (carpenter bees) Xylocopa spp (Hymenoptera: Apidae) yang terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya (Gambar 5). 

Pola warna bangbara di Sulawesi
Gambar 5. Variasi geografis dari Xylocopa diversipes dan Xylocopa nobilis di Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya (Sumber: J vander Vecht, 1953) 

Studi lainnya yaitu tentang evolusi dari tawon Eumenes (Hymenoptera: Eumenidae) di wilayah Indo-Australia. Dalam studi ini, ia mendapati adanya perbedaan corak warna. Pada pulau yang berukuran besar, tawon ini memiliki corak warna yang lebih seragam. Sementara, pada pulau-pulau kecil, corak warnanya lebih bervariasi. Ia juga menyisihkan waktu untuk mempelajari struktur sarang tawon Vespidae dan konsekuensi evolusinya.

Sumbangannya terhadap sains lebah, tabuhan, dan tawon tampak dari spesies yang mengusung nama vechti atau vandervechti. Setidaknya ada 35 species bernama vechti dan 5 vandervechti.  Sebut saja Apis vechti Maa (Apidae), Ceratosolen vechti Wiebes (Agaonidae), Homalictus vechti Pauly (Halictidae), Goryphus dravidus vechti Jonathan and Gupta & Gupta (Ichneumonidae), dan Labus vandervechti Giordani Soika (Eumenidae). Nama spesies tadi merupakan bentuk penghargaan entomologiwan lain kepada dirinya.

Ia juga dikenal sebagai penemu dari apa yang sekarang disebut "organ van der Vecht" atau "kelenjar van der Vecht". Suatu organ atau kelenjar yang terletak pada sternit paling belakang dari tawon betina Vespidae.  Kelenjar ini menghasilkan sekresi anti-semut yang berfungsi melindungi sarang tawon dari gangguan semut.  

***

Perang Dunia II merupakan masa yang memilukan, khususnya bagi sebagian rakyat di Asia Tenggara. Termasuk juga para peneliti berkebangsaan Belanda yang kala itu tinggal di Indonesia. Kepiluan berawal tatkala pada tanggal 1 Maret 1942, serdadu Jepang berhasil mendarat di Banten. Mereka lalu menyerbu ke arah timur, melalui jalur Serang-Rangkasbitung-Leuwiliang, dan berlanjut ke arah Semplak. Dengan melewati Jalan Cilendek, akhirnya mereka tiba di jantung kota Bogor. Pasukan Belanda dengan mudah ditaklukan.

Lima hari kemudian (6 Maret 1942), pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan peraturan bahwa semua tenaga berkebangsaan Eropa diberhentikan dari jabatannya. Tidak hanya itu, mereka kemudian ditangkap dan ditempatkan di kamp tawanan. Tidak terkecuali J van der Vecht.

Tak ada catatan dimana ia ditawan. Mungkin saja di kamp Kedoeng Halang, salah satu kamp tawanan yang ada di Bogor. Bisa juga di Batavia, atau seperti halnya Dr. LGE Kalshoven di kamp Tjimahi (Bandoeng). Yang pasti, ia ditawan terpisah dari istrinya. 

Tidak lama kemudian, J van der Vecht "dipindahtugaskan" dari Jawa ke Burma.  Di sana ia dijadikan romusha, pekerja kasar yang bekerja untuk kepentingan perang. Sudah tentu tanpa upah. Tugasnya membangun jalan rel kereta api Burma (sekarang Myanmar), yang sangat terkenal itu. 

Rel kereta, yang membentang sepanjang 415 km dari Thailand ke Burma, ini dibangun selama 1940-1943 untuk kepentingan militer Jepang. Pembangunannya melibatkan 200.000 warga sipil asal Asia serta 60.000 tawanan Sekutu. Selama pembangunan rel kereta itu, sebanyak 90.000 pekerja sipil dan 12.000 tawanan Sekutu tewas. Beruntung, J van der Vecht tidak termasuk di dalamnya.

Setelah Perang Dunia II usai, ia tinggal sementara di Museum Raffles (Singapura), sebelum akhirnya pulang ke Bogor untuk melepas rindu bersua kembali dengan sang istri, Elizabeth M "Bep" Bourguignon. Kedua pasangan suami-istri ini telah terpisah selama 3.5 tahun. Waktu yang pasti terasa begitu lama bagi pasangan muda, setidaknya paruh baya.

Tidak hanya berjumpa dengan istrinya. Tiba di Bogor, ia juga mendapati koleksi Hymenoptera dan pustakanya dalam keadaan selamat. Adalah Dr. MA Lieftinck (Direktur Museum Zoologi) yang berupaya menyelamatkannya, dengan menyimpan  "kedua harta" milik J van der Vecht tadi di museum. Padahal, pada awal masa revolusi fisik, di Bogor sempat terjadi penjarahan oleh segelintir masyarakat. Sasarannya rumah tempat tinggal orang-orang Eropa, termasuk rumah J van der Vecht.

Pada Januari 1946 ia mudik ke Belanda untuk tetirah, atau istilah gaulnya sekarang healing. Ini dilakukan untuk menghapus trauma masa lalu, sewaktu menjadi romusha di Burma. Kepada temannya, ia pernah bercerita bahwa hingga 40 tahun kemudian, tatkala malam tiba, ingatannya sering melayang pada bayangan perlakuan kasar serdadu Jepang. Deraan tongkat kayu dipastikan segera menghampiri punggungnya, manakala sedikit lalai bekerja. 

Di tahun itu juga, ia menghabiskan waktunya selama 3 bulan di AS, guna mempelajari perkembangan entomologi pertanian di negeri Paman Sam. Ia berkesempatan bertemu dengan para entomologiwan mumpuni, seperti Schwarz, Timberlake, Linsley, Michener, dan Pate

Tahun 1947 ia kembali ke Jawa dan diangkat sebagai Kepala Balai Penyelidikan Hama Tumbuhan (BPHT) di Bogor. Salah satu tugasnya yaitu merawat koleksi serangga pertanian yang tersimpan di BPHT. Koleksi ini merupakan hasil kerja kolektif dari banyak entomologiwan berkebangsaan Belanda kala itu. Bahkan, koleksi inilah yang  dijadikan dasar oleh Kalshoven untuk penyusunan dua jilid bukunya "De plagen van de cultuurgewassen in Indonesie ". 

Kini BPHT - lembaga penelitian yang sangat prestisius pada zamannya - telah tiada, terhempas oleh gelombang reorganisasi. Lantas, dimana dan bagaimana nasib warisan koleksi serangga yang bersejarah itu ?. Berharap tetap terjaga dan terpelihara !.

Pada kurun waktu itu pula, tepatnya 11 Desember 1949, ia bersama sejumlah entomologiwan berkebangsaan Belanda lainnya seperti Dr. LGE Kalshoven, Dr. MA Lieftinck, dan Dr. LJ Toxopeus, serta beberapa orang Indonesia seperti Ir. Soetardi Mangoendojo dan Ir. Tojib Hadiwidjaja mendirikan Entomologische Vereniging in Indonesie (EVI) atau Perkumpulan Entomologi di Indonesia. Tujuannya untuk menghidupkan kembali kegiatan entomologi yang sempat mandek semasa perang.

Seusai penyerahan kedaulatan, pada tahun 1951 ia pulang ke Belanda. Akan tetapi, tahun 1952 ia kembali lagi ke Indonesia untuk menerima pengangkatannya sebagai profesor. Orasi Guru Besar-nya, berjudul "Verleden en Toekomst der Landbouw-Entomologie in Indonesie" (Masa Silam dan Masa Depan Entomologi Pertanian di Indonesia), disampaikannya di Bogor pada 28 Mei 1953 (Gambar 6). 

Pidato pengukuhan profesor J van der Vecht
Gambar 6. Kulit muka buku orasi J van der Vecht (Sumber: Perpustakaan Nasional RI)

"Dunia serangga telah memikat hatiku sejak di bangku sekolah. Itulah yang menuntun arah perjalanan panjang hidupku ......", begitu kira-kira yang diucapkan J van der Vecht mengawali pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar. Ia merupakan Guru Besar pertama dalam bidang Entomologi di Fakultas Pertanian UI, bahkan di Indonesia. 

Setelah mengabdi selama empat tahun di IPB, tahun 1955 ia memutuskan untuk balik dan menetap di Belanda. Ia menerima tawaran sebagai kurator Hymenoptera pada Rijksmuseum van Natuurlijke Historie di Leiden. 

Tahun 1962 ia diangkat sebagai Guru Besar luar biasa untuk taksonomi hewan pada Universitas Groningen. Selanjutnya, pada tahun 1964 sebagai profesor penuh sistematika hewan pada Universitas Leiden. Pada kurun waktu itu pula, bersama Ch. Ferriere, ia menghidupkan kembali penyusunan Hymenopterorum Catalogus.

Lima tahun kemudian, karena alasan kesehatan, ia memutuskan untuk pensiun dini. Bersama istrinya, ia tinggal di sebuah bungalo di daerah pedesaan di Putten. Bungalonya diberi nama Andrena, sesuai dengan nama lebah yang pertama kali digelutinya. Kegiatan ilmiah terus berlanjut di bungalo. 

Sebanyak 29 artikel berhasil ditulisnya. Semuanya tentang lebah dan tawon, sebagian di antaranya berkaitan dengan Indonesia. Suasana hening di pedesaan, rupanya memberinya kesempatan untuk menuntaskan penulisan berbagai manuskrip yang dulu sempat tertunda.

***

Di usia senjanya, kerap ia merenung, menyesali dirinya sendiri, mengapa tidak memiliki keturunan. Satu-satunya anak yang dilahirkan, sebelum pendudukan Jepang, meninggal pada saat masih di ayunan. Dan setelah keluar dari tahanan, pasangan ini tidak lagi dikaruniai anak. 

Ia didera kesepian yang sangat mendalam, terutama setelah istrinya meninggal dunia pada tahun 1986. Terlebih, di penghujung usia senjanya, ia menderita gangguan kesehatan mental, berupa penurunan memori. Kondisi kesehatannya pun semakin lama semakin memburuk. Ia meninggal dunia pada 15 Maret 1992, pada usia 86 tahun.

Di kalangan teman-teman dekatnya, J van der Vecht dikenal sebagai pribadi yang baik hati dan murah hati. Sementara, di tataran internasional, ia akan selalu dikenang sebagai salah satu pakar Hymenoptera terbesar yang pernah ada.

Referensi

DVA (Department of Veterans' Affairs). 2021. Burma-Thailand Railway and Hellfire Pass 1942 to 1943, DVA Anzac Portal, https://anzacportal.dva.gov.au/wars-and-missions/burma-thailand-railway-and-hellfire-pass-1942-1943. Diakses 9 Oktober 2022.

Edi Sudarjat. 2015. Bogor Masa Revolusi 1945-1950. Depok: Komunitas Bambu. 182 h.

Index of Organism Name. http://www.organismnames.com/query.htm?q=vechti&searchType=simple&so=a0&pp=50. Diakses 8 Oktober 2022.

Index of Organism Name. http://www.organismnames.com/query.htm?q=vandervechti&Submit.x=0&Submit.y=0&searchType=simple&so=a0. Diakses 8 Oktober 2022.

van Achterberg C. 1992. Obituary and bibliography of Jacobus van der Vecht (1906-1992). Zoologische Mededelingen 66: 295-302.

van Achterberg C. 1993. In memoriam Jacobus van der Vecht (1906-1992). Ent Ber Amst 53: 41-43.

van der Vecht J. 1950. Population studies on the coconut leaf moth Artona catoxantha Hamps. (Lep., Zyg.). Proc 8th International Congress of Entomology: 702-715.

van der Vecht J. 1953. The carpenter bees (Xylocopa Latr.) of Celebes, with notes on some other Indonesian Xylocopa species (Hymenoptera: Apidae). Idea 9(3/4): 57-69.

Wiebes JT. 1992. Levensbericht J van der Vecht, in: Levensberichten en herdenkingen. Amsterdam, pp. 69-72.

Zuhdi S. 2017. Bogor Zaman Jepang 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu. 178 h.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2022. Prof. Dr. J van der Vecht, Pakar Hymenoptera dan Perintis Penelitian Hama Lada. https://www.serbaserbihama.com/2022/10/van-der-vecht-pakar-hymenoptera-hama-lada.html. Diakses tanggal (sebutkan).




2 comments:

Sri Wahyuni said...

Terimakasih atas tulisannya Prof.. sangat menginspirasi...jadi tdk sabar menunggu tulisan lainnya....

Sang Pengamat Hama said...

Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.