Aglonema
Dulu, orang menyebutnya srirezeki. Sekarang lebih dikenal sebagai aglonema, pelafalan khalayak untuk nama latin Aglaonema. Kini, puluhan varietas aglonema banyak tersedia di pasaran. Ada aglonema diana, widuri, tiara, dan masih banyak lainnya. Bahkan, ada yang bernama aglonema hot lady. Entah kenapa.
Keberadaan berbagai varietas aglonema itu tidak lepas dari sentuhan tangan seorang bernama Gregori Garnadi Hambali. Ia adalah pemulia tanaman. Kegemarannya mengawinsilangkan tanaman, utamanya aglonema. Tidak heran, jika ia mendapat julukan "penghulu aglonema".
Awal tahun 1970-an, saya (AR) pernah sama-sama kuliah dengannya. Teman-teman dekatnya biasa menyapanya Greg. Ia masuk IPB satu tahun lebih dulu dari saya. Setelah itu, saya hampir tidak pernah ketemu lagi dengan Greg. Belakangan, namanya terdengar kencang bersamaan dengan booming-nya aglonema. Ingin tahu kisah perjalanan hidup sang penghulu aglonema itu ?. Klik disini.
Aglonema merupakan salah satu primadona tanaman hias, terutama semasa pandemi Covid 19. Banyak moms, bunda, dan emak-emak yang memeliharanya di halaman atau teras rumah (Gambar 1).
Gambar 1. Aglonema di teras rumah (Foto: Aunu Rauf) |
Gangguan hama
Sudah yang keempat kali ini, aglonema punya istri saya yang ditempatkan di teras rumah, terserang ulat. Sudah tentu, sebagai seorang entomologiwan, saya malu sama istri. Tanaman hiasnya diserang hama.
Sayangnya, tak ada informasi tentang ulat ini ditemukan di buku Kalshoven versi bahasa Inggris terbitan tahun 1981. Ada sedikit, memang, pada buku versi asli bahasa Belanda (1951). Itu pun singkat sekali, hanya satu paragraf dengan tujuh baris.
Kabar baiknya, saya menemukan artikel berjudul "Aanteekeningen over de op Java voorkomende soorten van het genus Panacra" dan buku "Uit Java's Vlinderleven". Di dalamnya ada uraian yang cukup detil tentang ulat yang menyerang aglonema. Kedua-duanya bertahun terbit 1936, dan ditulis oleh Frits Dupont.
Dari ciri morfologi yang ada di dalam pustaka itu, saya meyakini bahwa ulat yang menyerang aglonema di teras rumah adalah Eupanacra elegantulus (Herrich-Schaffer) dari famili Sphingidae. RMA (penulis kedua) juga mendapati aglonema di Kebun Raya Bogor diserang oleh ulat jenis yang sama.
Untuk urusan Sphingidae di Indonesia, sejatinya kita berhutang banyak kepada F Dupont. Selama tinggal di Hindia Belanda, ia mengkhususkan diri pada studi Sphingidae. Bahkan, ia sempat memiliki koleksi ngengat Sphingidae dari seluruh Indonesia, serta koleksi gambar berwarna dari berbagai jenis larvanya.
Namanya memang tidak setenar Kalshoven. Wajar, ia bukan entomologiwan. F Dupont, yang lahir di Schiedam (Belanda) 1 Juli tahun 1909, hanyalah seorang peminat entomologi. Ia seorang entomologiwan amatir.
Konon, pada tahun 1930 ia bekerja pada Balai Besar Penyelidikan Pertanian di Buitenzorg (Bogor). Selanjutnya, ia dialihtugaskan ke Balai Penelitian Kelapa di Manado. Pada 11 Januari 1942, ia tewas terbunuh saat serdadu Jepang menginvasi Manado. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana nasib koleksi Sphingidae yang ditinggalkannya.
Mengenal ulat Eupanacra elegantulus
Persebaran
Ulat Eupanacra elegantulus tersebar luas di Asia Tenggara. Meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bioeokologi
Telur. Telur yang terdapat di dalam abdomen (Gambar 2) dan yang baru diletakkan (Gambar 3) berwarna hijau pucat. Bentuknya bundar, permukaannya licin, dengan diameter 1.6 mm.
Telur diletakkan secara tunggal pada permukaan bawah daun dari tumbuhan inang. Pada satu helai daun biasanya hanya ditemukan satu butir telur. Menjelang menetas, telur berubah warna menjadi kuning, lalu oranye (Gambar 4), sesuai dengan warna larva instar-1 di dalamnya. Telur menetas dalam waktu 4-5 hari setelah diletakkan.
Gambar 2. Telur Eupanacra elegantulus di dalam abdomen (Foto: Aunu Rauf) |
Gambar 3. Telur Eupanacra elegantulus yang baru diletakkan (Foto:Aunu Rauf) |
Gambar 4. Telur Eupanacra elegantulus menjelang menetas (Foto: Rizky Marcheria Ardiyanti) |
Larva. Larva terdiri dari lima instar. Larva instar-1 yang baru keluar dari telur berwarna oranye terang (Gambar 5). Tanduk, yang terdapat pada ujung belakang abdomen, berbentuk lurus dan runcing, berwarna oranye dengan bagian ujungnya cokelat kehitaman.
Tidak lama setelah keluar dari telur, larva instar-1 segera memakan cangkang telur sebagai santapan pertamanya, sebelum kemudian makan jaringan daun. Begitu pula setelah ganti kulit. Larva instar-1 hingga instar-4 akan memakan eksuvium yang ditanggalkannya, kecuali bagian kapsul kepala dan tanduk. Sehingga kecil kemungkinannya kita menjumpai cangkang telur atau eksuvium yang tertinggal pada daun.
Gambar 5. Larva instar-1 Eupanacra elegantulus yang baru keluar dari telur (Foto: Aunu Rauf) |
Larva instar-2 hingga instar-4 berwarna hijau pucat polos, dengan tanduk lurus dan runcing berwarna oranye kekuningan (Gambar 6). Larva instar-1 dan -2 belum memiliki becak hitam.
Gambar 6. Larva instar-2 Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Becak hitam mulai tampak pada instar-3, dan lebih jelas lagi pada larva instar-4 (Gambar 7 dan 8).
Gambar 7. Larva instar-4 Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Gambar 8. Becak hitam pada ruas depan abdomen Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Saya sempat menyaksikan larva instar-4 yang baru saja ganti kulit menjadi instar-5 (Gambar 9). Secara umum warna tubuhnya masih seperti instar-4, hijau pucat dan polos. Tetapi, tanduknya yang tadinya lurus dan runcing, sekarang digantikan oleh tanduk yang lebih pendek dan bengkok ke arah bawah (Gambar 9).
Gambar 9. Larva instar-4 Eupanacra elegantulus yang baru ganti kulit menjadi instar-5 (Foto: Aunu Rauf) |
Beberapa jam kemudian, larva yang baru ganti kulit tadi mulai memperlihatkan ciri khas larva instar-5. Tanduknya berubah warna menjadi cokelat kehitaman. Becak hitam pada bagian depan abdomen membesar. Tubuh betambah besar, berukuran panjang 70-75 mm.
Secara umum, larva instar-5 memperlihatkan dua tipe corak warna tubuh. Pertama, larva yang tubuhnya berwarna hijau pucat. Kedua, larva yang tubuhnya berwarna cokelat atau gelap.
Pada larva tipe pertama, kepala berwarna hijau pucat, tubuh berwarna hijau kekuningan (Gambar 10). Terdapat pita membujur berwarna cokelat sepanjang bagian dorsal tubuh, dari kepala hingga bagian pangkal tanduk. Tanduk bengkok dan berwarna cokelat.
Gambar 10. Larva instar-5 Eupanacra elegantulus yang berwarna hijau (Foto: Aunu Rauf) |
Pada larva tipe kedua, seluruh tubuh berwarna cokelat. Tanduk bengkok dan berwarna kehitaman (Gambar 11)
Gambar 11. Larva instar-5 Eupanacra elegantulus yang berwarna cokelat (Foto: Aunu Rauf) |
Jika merasa terganggu atau terancam, larva akan menarik kepala dan toraks ke dalam ruas pertama abdomen. Berbarengan dengan itu, larva akan memamerkan becak mata palsunya dengan cara memperbesar ruas abdomen tadi. Hasilnya, bagian depan ulat akan tampak seperti kepala buaya atau ular (Gambar 12). Ini barangkali merupakan bentuk adaptasi ulat untuk menakut-nakuti musuhnya (predator) agar tidak mendekat.
Gambar 12. Penampakan becak mata palsu pada larva instar-5 Eupanacra elegantulus yang berwarna hijau (atas) dan cokelat (bawah) (Foto: Aunu Rauf) |
Gambar 13. Prapupa Eupanacra elegantulus (Foto; Aunu Rauf) |
Keseluruhan masa perkembangan larva, sejak instar-1 hingga instar-5 berhenti makan sekitar 23 hari, berlanjut dengan masa prapupa 2 hari.
Pupa. Pupa berwarna abu kecokelatan, berukuran panjang 40-45 mm, dengan tubuh bagian abdomen melengkung (Gambar 14). Di lapangan, ulat ini berkepompong dekat permukaan tanah. Masa stadium pupa berlangsung 11-13 hari.
Gambar 14. Pupa Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Imago. Ngengat memiliki sayap depan abu-abu dengan bercak-bercak berwarna zaitun (Gambar 15). Sayap belakang coklat-hitam dengan pita berwarna kuning cokelat. Rentang sayap sekitar 5 cm.
Ngengat betina dapat hidup selama 5-8 hari. Selama hidupnya seekor betina diperkirakan dapat meletakkan sebanyak 100-300 butir telur, seperti dilaporkan pada ngengat Sphingidae lainnya.
Gambar 15. Ngengat Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Tumbuhan inang
Ulat E. elegantulus menyerang berbagai tanaman dari famili Araceae. Di antaranya adalah Aglaonema, Alocasia, Amorphophallus, Caladium, Colocasia, Dieffenbachia, Homalomena, Monstera, dan Syngonium.
Ulat lainnya yang umum dijumpai menyerang Araceae, terutama Caladium dan Alocasia, adalah Hippotion celerio (Sphingidae). Informasi tentang ulat jenis ini dapat dibaca pada postingan sebelumnya (klik di sini).
Musuh alami
Dari larva E. elegantulus yang saya koleksi dari halaman rumah tidak satu pun yang terparasit. Mungkin karena jumlah sampelnya sedikit, atau habitatnya tidak mendukung kehidupan parasitoid.
RMA yang mengoleksi berbagai instar larva E. elegantulus dari taman aglonema di Kebun Raya Bogor mendapatkan tiga jenis parasitoid: Eulophidae, Braconidae, dan Tachinidae.
Dari 33 ekor larva instar-2, sebanyak 11 ekor (33.3%) terparasit oleh Eulophidae. Larva parasitoid tampak berwarna hijau cerah menempel pada tubuh ulat instar-2 (Gambar 16). Saya menduganya Euplectrus sp. Merupakan ektoparasitoid yang bersifat gregarius. Satu ulat dapat diparasit oleh 12-14 larva parasitoid.
Gambar 16. Larva Eulophidae (berwarna hijau) yang memarasit larva instar-2 Eupanacra elegantulus (Foto: Rizky Marcheria Ardiyanti) |
Dari 48 ekor ulat instar-3, sebanyak 23 ekor (47.9%) terparasit oleh parasitoid dari famili Braconidae, kemungkinan Microplitis sp. Ini merupakan endoparasitoid yang bersifat soliter. Larva parasitoid keluar dari tubuh inang untuk berpupa, dan membentuk kokon yang menempel pada bagian luar tubuh ulat (Gambar 17).
Gambar 17. Kokon parasitoid Braconidae menempel pada larva instar-3 Eupanacra elegantulus (Foto: Rizky Marcheria Ardiyanti) |
Dari 34 ekor larva instar-5, sebanyak 9 ekor (26.5%) terparasit oleh lalat Tachinidae. Ini tergolong endoparasitoid yang bersifat gregarius. Lalat meletakan telur pada permukaan luar dari tubuh ulat instar lanjut. Setelah telur menetas, larvanya langsung masuk ke dalam tubuh ulat.
Ulat yang terparasit tampak lemah dan lamban, serta terdapat bintik hitam pada bagian dorsal abdomen (Gambar 18). Bintik hitam ini diperkirakan tempat masuknya larva parasitoid, serta sekaligus digunakan sebagai tempat menempelnya corong pernafasan (respiratory funnel) dari parasitoid.
Gambar 18. Larva instar-5 Eupanacra elegantulus yang terparasit Tachinidae (Foto: Rizky Marcheria Ardiyanti) |
Larva parasitoid lalu keluar dari tubuh inang, dan segera membentuk puparium di sekitar sisa-sisa bangkai inang. Dari satu ulat muncul 8-10 ekor parasitoid Tachinidae (Gambar 19).
Gambar 19. Lalat Tachinidae yang merupakan parasitoid larva Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Gejala serangan, deteksi dini dan pengelolaan
Gejala awal serangan ditandai oleh adanya sobekan pada tepi daun (Gambar 20), yang membuat penampilan aglonema tak lagi mulus. Jika daun ini dibalik, akan tampak larva instar-1 atau instar-2 menempel pada permukaan bawah daun.
Gambar 20. Gejala awal serangan ulat Eupanacra elegantulus (Foto: Aunu Rauf) |
Ulat makan pada malam hari. Kerusakan terparah disebabkan oleh larva instar-5. Dalam satu malam, seluruh daun bisa ludes dilahapnya.
Alhasil, deteksi dini sangatlah penting. Jika pada saat menyiram ditemukan daun yang tepinya sobek, segera cari ulat yang ada pada permukaan bawah daun. Pungut dan matikan ulat tadi secara mekanis dengan tangan atau alat lainnya.
Penggunaan insektisida, terutama di halaman dan teras rumah, seyogyanya dihindari. Terlebih, aplikasi insektisida dapat membunuh musuh alami ulat E. elegantulus.
Ardiyanti RM. 2014. Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffer (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dupont F. 1936. Aanteekeningen over de op Java voorkomende soorten van het genus Panacra (Lep., Sphingidae). Entomologische Mededeelingen van Nederlandsch-Indie 2(2): 21-28.
Dupont F, Sheepmaker GJ. 1936. Uit Java's Vlinderleven. Batavia: NV Bookhandel en Drukkerij Visser & Co.
Kalshoven LGE. 1951. De Plagen van de Cultuur-Gewassen in Indonesie. Deel II. Bandoeng: NV Uitgeverij W van Hoeve . S-Gravenhage.
Leong TM. 2011. The brown form final instar caterpillar of the hawkmoth, Acherontia lachesis (Fabricius, 1798) in Singapore (Lepidoptera: Sphingidae), with an account of parasitism by the tachinid fly, Drino (Zygobothria) atropivora (Robineau-Desvoidy, 1830). Nature in Singapore 4: 251-258.
Mira A. 2000. Exuviae eating: a nitrogen meal ?. Journal of Insect Phisiology 46: 605-610.
Stevens M. 2005. The role of eyespots as anti-predator mechanism, principally demonstrated in the Lepidoptera. Biol Rev Camb Philos Soc 80(4): 573-588.
Rauf A, Ardiyanti RM, Maryana N. 2022. Ulat Eupanacra elegantulus Bikin Tajuk Aglonema Tak Mulus. https://www.serbaserbihama.com/2022/12/eupanacra-elegantulus-hama-aglonema.html. Diakses tanggal (sebutkan).
No comments:
Post a Comment