Tuesday, June 20, 2023

Kupu-kupu dalam Lambungku

Buku yang saya beli 40 tahun yang lalu itu menyuguhkan serangga sebagai pangan. Substansi yang kala itu tak banyak dilirik. Kini, lain cerita 

Tanggalnya 19 Mei 2023. Siang itu, saya sedang menonton tayangan Jejak Si Gundul di Trans 7. Program televisi yang mengusung kearifan lokal lewat karakter Si Gundul yang tangguh dan serba bisa. 

Kebetulan acaranya tentang pembuatan sup gasir atau kasir (jangkrik besar). Memang, bukan kali itu saja Jejak Si Gundul menayangkan kuliner berbahan serangga. Suatu kali pernah tentang belalang, larva lebah madu, nimfa capung, dan serangga lainnya. 

Terlintas dalam ingatan saya, salah satu buku koleksi yang tersimpan di kamar perpustakaan. Judulnya "Butterflies in My Stomach" (Gambar 1) atau "Kupu-kupu dalam Lambungku", terbitan tahun 1975. Buku yang sudah sangat lama tak disentuh, dibuka, apalagi dibaca. Wajar, kalau berdebu.

Kupu-kupu dalam lambungku
Gambar 1. Sampul depan buku "Butterflies in My Stomach" di antara buku-buku entomologi lainnya (Foto: Aunu Rauf)

Penulisnya Dr. Ronald L Taylor, seorang entomologiwan, adalah Associate Clinical Professor of Pathology pada Sekolah Kedokteran, University of Southern California. Ia juga menjabat sebagai Direktur Laboratorium Forensik pada Department of the Chief Medical Examiner, Los Angeles.

Pada bagian dalam dari sampul buku tadi ada tulisan tangan menggunakan tinta biru "US$ 8.95". Ya, itulah jumlah uang yang harus saya bayarkan. Dulu, 43 tahun yang lalu.  

Memang, buku itu saya beli di salah satu stan pameran, saat menghadiri pertemuan tahunan Entomological Society of America (ESA) di Denver, Colorado tahun 1980.

Ini memutar ingatan saya pada perjalanan panjang, dari Madison di negara bagian Wisconsin ke Denver di negara bagian Colorado. Perjalanan darat sepanjang 1.500 km itu ditempuh selama kurang lebih 17 jam. 

Kami berangkat berenam, menyetir bergantian. Semuanya geng forest entomology dari Department of Entomology, University of Wisconsin-Madison. Selain Prof. Daniel M Benjamin (dosen pembimbing), dalam mobil itu ada lima mahasiswa pascasarjana yaitu Michael R Wagner, Mark O Harrell, Robert A Hack, Mark E Kraemer, dan saya sendiri.

Kelak di kemudian hari, setelah menyandang gelar Ph.D, semuanya menjalani profesi sebagai profesor entomologi di berbagai universitas. MR Wagner di Northern Arizona University, MO Harrell di University of Nebraska, RA Hack di Michigan State University, dan ME Kraemer di Virginia State University. Sementara, saya di IPB.

Mereka pun kini memiliki kesamaan status. Pensiunan.

Kembali ke Bedah Buku

Buku Butterflies in My Stomach terdiri dari dua bagian. Bagian I tersusun dari Bab 1 hingga Bab 7, sedangkan Bagian II merupakan Bab tunggal.

Bab 1 memaparkan manfaat serangga bagi kehidupan manusia. Dimulai dengan pertanyaan "Apa jadinya bumi jika tanpa kehadiran serangga ?".

  • Bayangkan bumi tanpa buah-buahan, karena tak ada serangga penyerbuk.
  • Bayangkan sungai-sungai tanpa ikan, karena tak ada serangga air sebagai sumber makanannya.
  • Bayangkan hutan yang penuh dengan bangkai dan kotoran hewan serta batang pohon, karena tak ada serangga yang mempercepat dekomposisinya.

Meski demikian, umumnya kita punya persepsi yang tak adil terhadap serangga sebagai sumber protein. "Sementara, kita menyantap lahap kerabatnya: udang, kepiting, dan lobster. Mengapa belalang tidak ?", begitu bab ini menggugat. 

Bab 2 mengkaji peran tak langsung dan langsung dari serangga dalam pola makan kita.

Peran tak langsung misalnya pemanfaatan madu, yang tak lain adalah nektar bunga yang dikumpulkan oleh lebah. Sementara, peran langsung adalah pemanfatan serangga secara langsung, misalnya goreng belalang.

Bab 3 membahas tentang krisis protein. Berbagai opsi peningkatan penyediaan dan asupan protein perlu ditempuh, termasuk yang bersumber dari serangga. 

Bab 4 membahas potensi serangga sebagai pangan, ditinjau dari nilai nutrisi, efisiensi konversi, kapasitas reproduksi, dan potensi pasar. 

Banyak serangga yang memiliki kandungan protein setingkat dengan daging sapi. Bahkan, dalam beberapa kasus 2-3 kali lipat lebih besar. Misalnya kandungan protein pada belalang kering 49,7-75%, sementara daging sapi 17,4-19,4%.

Banyak jenis serangga yang memiliki nilai efisensi konversi makanan yang tinggi. Lebih tinggi dari sapi, dan hanya kalah dari ayam. 

Serangga memiliki kapasitas reproduksi yang tinggi, seperti terbukti pada saat terjadi ledakan. Artinya, ini berpeluang untuk diproduksi secara massal. 

Sementara, potensi pasar sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat.

Bab 5 memaparkan bagaimana memperoleh makanan yang bersumber dari serangga. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan cara membeli yang siap saji.

Dulu, sewaktu membeli buku "Butterflies in My Stomach", pada stan pameran yang sama, saya juga sekalian membeli makanan kalengan yang berisi belalang goreng. Mereknya "Bonavita" (Gambar 2). 

Kemasan belalang goreng
Gambar 2. Makanan kalengan belalang goreng "Bonavita" bersanding dengan mug IPB untuk perbandingan ukuran (Foto: Aunu Rauf)

Belalang kalengan yang saya beli 43 tahun yang lalu itu sekarang masih tersimpan di kampus. Kemasannya masih utuh, dan isinya sama sekali tak tersentuh. 

Petengahan tahun 1980-an, sewaktu masih mengajar Entomologi Umum, "Bonavita" ini kerap saya bawa ke dalam kelas untuk diperlihatkan kepada mahasiswa.

Selain membeli yang kalengan atau siap saji, kita juga bisa menyiapkan sendiri. Bab 5 memaparkan berbagai resep makanan dari serangga. Berikut ini contoh resep belalang goreng:

  • Lepaskan sayap dan tungkai (bila perlu kepala) dari tubuh.
  • Taburi dengan garam, merica, dan irisan peterseli.
  • Goreng menggunakan mentega.
  • Tambahkan sedikit cuka, siap disajikan.

Bestie ....., ini pastinya endul surendul.

Bab 6 mengupas tentang serangga sebagai sumber makanan alternatif, terutama di saat kita harus bertahan hidup di alam liar. Misalnya, saat tersesat di hutan belantara atau gurun. Mengapa serangga ?. Jawabannya sederhana. Serangga dapat ditemukan hampir di segala habitat dengan jumlah berlimpah. 

Konon, pada saat Perang Korea (1950-1953), seorang serdadu AS tertangkap dan ditempatkan dalam bui bawah tanah selama hampir sebulan. Ia bertahan hidup dengan makan kecoa yang berkeliaran di lantai dan dinding bui.

Peristiwa yang lebih anyar terjadi pada 2 Juni 1995.  Kala itu, pilot pesawat tempur F-16 dari US Air Force, Letnan Scott F O'Grady, terdampar di hutan setelah pesawatnya ditembak jatuh oleh pasukan Bosnia. Ia bertahan hidup hampir selama seminggu, sebelum akhirnya diselamatkan oleh pasukan marinir, dengan makan tumbuhan dan berbagai serangga.

Memang, dalam US Army Survival Manual tegas-tegas disebutkan bahwa serangga merupakan makanan alternatif yang jitu, jika sumber lain tak tersedia.

Bab 7 menyajikan manfaat serangga untuk terapi atau pengobatan penyakit. Bahkan, menariknya, asal kata "medicine" memiliki keterkaitan dengan serangga, setidaknya dengan lebah madu. 

Bagian pertama dari suku kata "medicine" memiliki kesamaan akar kata dengan "mead", yang artinya minuman beralkohol yang terbuat dari sisiran sarang lebah madu dan berkhasiat sebagai obat. 

Kebanyakan manfaat serangga dalam terapi penyakit merupakan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan belum melewati pengujian ilmiah.

Serangga yang disebutkan berkhasiat sebagai obat di antaranya kecoa, rayap, kutu busuk, kumbang air, belatung, semut, larva lebah, dan madu. 

Dalam bab ini disebutkan dua contoh dari Indonesia. Pertama, panggang kecoa untuk mengobati penyakit pernapasan seperti astma. Kedua, ratu rayap untuk memperkuat tulang belakang dan untuk rejuvenasi, utamanya bagi yang berumur lanjut.

Memang, ada yang sudah teruji secara ilmiah. Misalnya, madu dan belatung untuk penyembuhan luka.  

Bagian II dari buku ini menyajikan inventarisasi kuliner serangga di banyak belahan dunia. Berbagai suku di Afrika, Asia, Australia, Amerika, dan Europa telah sejak dahulu kala memanfaatkan serangga sebagai makanan. 

Khusus yang terkait dengan Indonesia, di antaranya disebutkan ulat sagu oleh masyarakat Papua, nimfa capung oleh masyarakat di Bali dan Lombok, laron serta kepompong ulat jati (yang disebut entung) di Jawa.

Sebagai catatan tambahan, konon ulat sagu (Gambar 3) menjadi kuliner lokal yang ngehits selama perhelatan PON XX Papua, tahun 2021. Bahkan, sempat sangat viral ketika Gubernur Jabar dan Walikota Bogor mencoba mengenyamnya (klik di sini).

Kuliner Papua
Gambar 3. Ulat sagu (Foto: MH Bintoro).

Meski begitu, belalanglah yang paling umum dijadikan santapan di banyak daerah. Saya teringat ketika pada tahun 2007, mewakili Komisi Perlindungan Tanaman (KPT)-Kementerian Pertanian, berkunjung ke Kupang untuk meninjau ledakan belalang kembara di sana. 

Sepulang dari lapangan, kami berkumpul di balai desa dan dijamu dengan berbagai kudapan. Salah satunya rempeyek belalang (Gambar 4). Entah kenapa, tangan saya tergerak memilih yang lain.

Kuliner serangga
Gambar 4. Rempeyek belalang yang dihidangkan saat terjadi ledakan belalang kembara tahun 2007 di Kupang (Foto: Aunu Rauf)
.
40 Tahun Pasca Butterflies in My Stomach

Dibutuhkan waktu hampir 40 tahun, dari sejak penerbitan buku Butterflies in My Stomach hingga dunia memberikan perhatian terhadap serangga sebagai sumber pangan.

Ini diawali dengan diadakannya konferensi "Insects To Feed The World", yang berlangsung 14-17 Mei 2014 di Belanda. Kegiatan itu merupakan kerjasama antara Wageningen University and Research Centre (WUR) dengan FAO. 

Tak tanggung-tanggung, sebanyak 450 orang peserta dari 45 negara hadir pada konferensi tersebut. Ini mencerminkan betapa besarnya perhatian global terhadap edible insects. Apalagi, mengingat setiap peserta harus bayar sendiri-sendiri.

Sebagai kelanjutan dari konferensi tadi, pada  tahun 2015 diluncurkan "Journal of Insects as Food and Feed". Jurnal daring yang diterbitkan oleh Wageningen Academic Publishers

Jurnal baru ini awalnya setahun hanya terbit 4 nomor. Namun, sejak tahun 2022 meningkat menjadi 10 nomor per tahun. 

Perhatian global terhadap serangga sebagai sumber protein tak hanya tercermin dari perkembangan jurnal. Juga buku. Melalui penelusuran di internet, setidaknya saya menjumpai 11 judul buku tentang edible insects yang terbit dalam 10 tahun terakhir (2013-2023).

  • Klunder H, van Huis A, van Itterbeeck J. 2014. Edible insects - Future prospects for food and feed security. FAO.
  • Daniella M. 2014. Edible: An Adventure into the World of Eating Insects and the Last Great Hope to Save the PlanetNew Harvest.
  • Mitsuhashi J. 2017. Edible insects of the world. CRC Press.
  • Gates S. 2017. Insects: An Edible Field Guide. Ebury Press.
  • Halloran A, Flore R, Vantomme P, Roos N. 2018. Edible Insects in Sustainable Food Systems. Springer International Publishing.
  • Suzanne M. 2018. The Hidden World of Edible Insects: Comparing Fractions. Triangle Interactive, LLC.
  • Sogari G, Mora C, Menozzi D. 2019. Edible Insects in the Food Sector: Methods, Current Applications and PerspectivesSpringer International Publishing.
  • Hunter GL. 2021. Edible Insects: A Global History. Reaktion Books.
  • FAO. 2021. Looking at Edible Insects from a Food Safety Perspective. FAO.
  • Grasso S, Bordiga M. 2023. Edible Insects Processing for Food and Feed: From Startups to Mass ProductionCRC Press.

Buku serangga yang dapat dimakan
Gambar 5. Salah satu buku tentang edible insects terbitan tahun 2021 (Sumber: FAO. CC BY-NC-SA 3.0)

Tak berhenti sampai di penerbitan jurnal dan buku. Belum lama ini, National Taiwan University menawarkan mata kuliah baru "Edible Insects". Mata kuliah ini dilaksanakan secara daring, berdurasi 8 minggu, dan dapat diakses secara gratis (klik di sini). 

Pengajarnya yaitu Prof. Matan Shelomi, seorang pria kelahiran New York City (US). Ia memperoleh gelar Dr. dalam bidang entomologi dari University of California-Davis.

Itu semua di atas tampaknya tak terlepas dari keunggulan "peternakan" serangga:

  • Dapat diperbanyak pada limbah organik, sehingga mengurangi pencemaran lingkungan dan sekaligus daur ulang. Ini sangat sesuai, khususnya untuk penyediaan pakan.
  • Menghasilkan emisi gas rumah kaca dan amonia yang lebih sedikit.
  • Memperlihatkan efisiensi konversi makanan yang tinggi, sehingga memerlukan jauh lebih sedikit air.
  • Sangat kecil kemungkinannya menularkan penyakit zoonosis.
  • Hampir tak tersentuh oleh isu animal welfare

***

Mengingat perhatian global yang meningkat belakangan ini, pertanyaan pun menyeruak. Perlukah kita cawe-cawe mempromosikan serangga sebagai sumber pangan ?. Sudah tentu, tanpa mengenyampingkan aspek sosialnya: keamanan pangan, kehalalan, dan penerimaan masyarakat.

Kendati begitu, sejujurnya, hingga usia kepala 7, saya belum pernah merasakan kuliner serangga. Dengan kata lain, tak pernah ada "kupu-kupu dalam lambungku". Terkecuali, mungkin tak sengaja. Saat makan petai, tanpa sadar, ada ulat di dalamnya. Instar awal pastinya.

***

Bogor, 19 Juni 2023

Aunu Rauf

Referensi

Borsari B. 2023. Edible insects as the new frontier in nutrition for sustainable development. Nutri Food Sci Int J 12(1): 555828.DOI: 10.19080/NFSIJ.2023.12.555828

Taylor RL. 1975. Butterflies in My Stomach. Santa Barbara, California: Woodbridge Press Publishing Company.

U.S. Department of the Army. Tanpa tahun. FM 21-76 US Army Survival Manual. 

van Huis A, Dicke M, van Loon JA. 2015. Insects to feed the world. Journal of Insects as Food and Feed 1(1): 3-5.

Internet

Scott O'Grady. (2023, May 30). In Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Scott_O%27Grady. Diakses 4 Juni 2023.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2023. Kupu-kupu dalam Lambungku. https://www.serbaserbihama.com/2023/06/serangga-sebagai-pangan-pakan.html. Diakses tanggal (sebutkan).


No comments: