Penggerek padi putih, walang sangit, dan tikus didakwa sebagai tiga hama utama yang sering menyebabkan kegagalan panen padi sawah di Hindia Belanda tempo dulu.
Sebagai seseorang yang lahir pasca kemerdekaan, tak mudah bagi saya untuk menelusuri gambaran umum status hama-hama padi pada masa kolonial. Utamanya, karena sebagian besar pustaka ditulis dalam bahasa Belanda.
Untungnya, sekarang ini tersedia banyak pilihan aplikasi penerjemah daring, baik yang berbayar maupun gratis. Saya biasanya menggunakan bantuan jasa dari https://www.onlinetranslationpro.com, dengan mengklik pilihan "Dutch to English Translator".
Rasanya lebih mudah memahami hasil terjemahan dari Belanda ke Inggris, ketimbang langsung dari Belanda ke Indonesia. Mungkin karena pengaruh perbedaan struktur kalimat.
Saya mengawali penelusuran dengan mengetikkan kata-kata bahasa Belanda ke dalam kotak pencarian Google. Kata seperti plantenziekten (penyakit tanaman), plagen (hama), rijst (padi) cukup memadai untuk bisa memandu saya menemukan dokumen yang diperlukan.
Jejak dokumen
Dokumen terlawas yang berhasil saya lacak, yang di dalamnya ada menyebut hama-penyakit padi, yaitu artikel bertahun terbit 1856. Judulnya “Bijdrage tot de Kennis van de Rijstkultuur oph Het Eiland Java” (Kontribusi Pengetahuan Tentang Bercocok Tanam Padi di Pulau Jawa).
Hama dan penyakit padi yang disebutkan di dalamnya meliputi ama poetjoek soelang, mentek, ama poetih, ama lodo, dan ama klinting.
Artikel lawas tadi tersedia secara daring berkat kerjasama antara Brill, perusahaan penerbitan buku dari Belanda, dengan JSTOR, perpustakaan digital dari AS.
Penulisnya HA Steijn Parve, seorang Asisten Residen di Padang Sidempuan dari tahun 1862 hingga 1863. Tampaknya ia gemar menulis. Buktinya, pada tahun 1855, ia juga menulis buku "De secte der padaries (padries) in de bovenlanden van Sumatra" (Kaum Padri di Dataran Tinggi Sumatera).
Dokumen lawas berikutnya yang terlacak berjudul “Bijdragen Tot De Kennis der Ziekten en Plagen van Het Padi-Gewas” (Kontribusi Pengetahuan Tentang Penyakit dan Hama Tanaman Padi), bertahun terbit 1863.
Sampul luarnya sudah kusam, namun tampak kekinian. Pada bagian atasnya ada barcode. Di dekat barcode terdapat tulisan “Universiteit Leiden”, yang menandakan tempat dokumen tersebut tersimpan secara fisik. Dokumen lawas ini tersedia secara daring berkat program digitisasi yang dirintis oleh Google Inc.
Dokumen berupa buku itu memuat inventarisasi hama dan penyakit pada pertanaman padi pada masa itu. Datanya diperoleh dari laporan para pamong yang tersebar di seluruh pelosok Hindia Belanda.
Buku tersebut disusun oleh KF Holle, seorang juragan teh di Garut. Ia dikenal dekat dan peduli dengan kehidupan petani. Tak heran bila di kemudian hari, tepatnya 27 Desember 1871, ia diangkat sebagai Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi pada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kisah hidup selengkapnya dapat dibaca pada postingan sebelumnya (klik di sini).
Di dalam buku tadi, penamaan semua jenis penyakit (ziekten) dan hama (plagen) menggunakan bahasa lokal pribumi. Saya menemukan setidaknya ada 60 nama lokal di dalamnya.
Penyakit padi yang paling banyak dilaporkan adalah mentek dan lodoh. Sekarang kita mengenal mentek sebagai penyakit tungro, sedangkan lodoh sebagai penyakit kresek atau sekarang lebih dikenal sebagai penyakit hawar bakteri.
Sementara untuk hama, yang paling sering dilaporkan adalah tikus, ama poetih, beloek (Gambar 1), dan walang sangit. Semua penyebutan jenis hama tersebut tanpa disertai nama latinnya.
Gambar 1. Sawah yang terserang berat hama beluk (Sumber: Dammerman, 1915) |
Dokumen berikutnya yang berhasil saya lacak berjudul “Ziekten van Rijst, Tabak, Thee en andere Cultuurgewassen, die door Insecten worden veroorzaakt” (Hama Padi, Tembakau, dan Tanaman Budidaya Lainnya yang Disebabkan oleh Serangga), terbitan tahun 1903. Buku ini tersimpan di Biodiversity Heritage Library. Di bawahnya ada tulisan contributed by Harvard University Botany Libraries.
Berbeda dengan sebelumnya, buku ini disusun oleh seorang zoologiwan pertanian bernama Dr. Jacob Christiaan Koningsberger. Ia pertama kali menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1894. Pernah menjabat Kepala Museum Zoologi Bogor (1901-1918), merangkap Direktur Kebun Raya Bogor (1911-1918)
Bahasan hama padi di dalam bukunya dikelompokkan ke dalam "De omo wereng", De walang sangit", "Eenige andere wantsen" (Hama kepik lainnya), "De omo poetih", "De paddiboorder" (penggerek padi), dan "Bladvretende de rupsen" (Ulat pemakan daun). Di dalamnya disertakan nama-nama latinnya. Bahkan, dilengkapi pula dengan gambar (Gambar 2).
Gambar 2. Berbagai serangga hama padi sawah (Sumber: Koningsberger,1903) |
Lain dari itu, saya juga menemukan buku berjudul “De Schadelijke Insecten van de Rijstplant op Java” (Serangga yang Merugikan pada Tanaman Padi di Jawa). Buku yang terbit tahun 1923 itu disusun oleh Dr. WC van Heurn.
Di dalamnya memuat setidaknya lebih dari 70 jenis serangga pemakan tanaman padi sawah, lengkap dengan nama ilmiahnya yang berlaku kala itu. Misalnya saja, wereng cokelat masih bernama Liburnia sordescens dan bernaung di bawah famili Fulgoridae.
Cukup banyak dokumen yang berhasil saya lacak dari internet. Meski begitu, artikel yang berisi kajian tentang status berbagai hama padi justru saya temukan langsung di Perpustakaan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian-IPB. Dulu akhir tahun 1980-an, sewaktu Fakultas Pertanian masih berada di Kampus Baranangsiang.
Artikel tadi tersisip di dalam bundel publikasi lawas. Sangat boleh jadi peninggalan Dr. LGE Kalshoven atau Dr. J van der Vecht, sewaktu keduanya bertugas sebagai dosen entomologi di Universitas Indonesia di Bogor kala itu.
Artikel yang berjudul "The more important pests of the rice crop in the Dutch East Indies" itu kertasnya tampak kusam, bahkan cenderung berwarna kecokelatan (Gambar 3). Maklum, berupa cetak ulang (reprint) yang usianya mendekati satu abad.
Gambar 3. Cetak ulang (reprint) artikel lawas bertahun terbit 1929 yang ditemukan di Perpustakaan Jurusan HPT, Fakultas Pertanian-IPB. |
Artikel yang disusun oleh Dr. P. van der Goot itu dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan se-Pasifik ke-4 tahun 1929. Kongres, yang dihadiri oleh 191 delegasi dari 24 negara, itu dibuka secara resmi di Batavia (Jakarta) pada 16 Mei 1929. Namun, pertemuan ilmiahnya berlangsung di Bandung dari tanggal 18 hingga 25 Mei 1929. Alasannya sederhana. Bandung hawanya lebih sejuk.
Artikel van der Goot tadi menyebutkan bahwa hama padi yang menduduki peringkat pertama dalam hal kerugian yang ditimbulkannya adalah penggerek padi putih, Scirpophaga innotata.
Peringkat kedua ditempati oleh walang sangit, Leptocorisa acuta (sekarang: Leptocorisa oratorius). Dan, peringkat ketiga ditempati oleh tikus sawah, Rattus rattus brevicaudatus (sekarang: Rattus rattus argentiventer).
Untuk hama yang disebabkan oleh serangga, van der Goot memberikan catatan tambahan sebagai berikut.
- Penggerek padi putih sangat sering menimbulkan kerusakan berat di daerah kering di dataran rendah di Jawa.
- Walang sangit merupakan hama penting di wilayah tertentu di Jawa bagian Barat. Tapi, hanya terjadi pada tahun dan lokasi tertentu, yaitu yang penanaman padinya terlambat.
- Penggerek padi kuning, Schoenobius incertellus (sekarang: Scirpophaga incertulas), umumnya tidak penting. Serangannya kadangkala terjadi di daerah yang penanaman padinya dua kali dalam setahun.
- Penggerek padi bergaris, Chilo simplex (sekarang: Chilo suppressalis), sangat jarang dan sama sekali tidak penting. Ini karena populasinya selalu dikendalikan oleh beragam parasitoid telur.
- Kepinding tanah, Podops coarctata (sekarang: Scotinophara coarctata) merupakan hama tidak penting. Memang, di Sumatera sesekali menimbulkan kerusakan, terutama pada sawah di daerah berawa.
- Wereng hijau, Nephotettix apicalis (sekarang: Nephotettix nigropictus) dan wereng daun lainnya jarang menjadi hama penting. Karena kerusakan kecil yang meliputi beberapa m2 akan segera dikendalikan oleh kumbang Coccinella repanda (sekarang: Coccinella transversalis).
- Ulat grayak Spodoptera mauritia sesekali menimbulkan kerusakan berat pada persemaian. Serangan umumnya terbatas di beberapa kersidenan (Banjoemas, Djogjakarta), yang mungkin berkaitan dengan faktor iklim.
- Ulat grayak Cirphis (Leucania) unipuncta (sekarang: Mythimna separata) jarang menimbulkan kerusakan berat. Kalaupun itu terjadi, biasanya menyerang tangkai malai dari tanaman padi menjelang panen.
- Hama putih, Nymphula depunctalis, yang biasanya menyerang di persemaian dan padi yang baru ditanam, tergolong tidak penting. Tapi dapat menghambat pertumbuhan tanaman, terutama di daerah berawa atau daerah yang banyak curah hujannya.
- Hesperia philono (sekarang: Parnara bada) dan ulat-ulat daun lainnya merupakan hama yang tak penting dan tidak perlu mendapat perhatian. Terkecuali di Sulawesi, kerusakan oleh ulat ini relatif lebih besar. Mungkin karena ketiadaan parasitoidnya.
Jejak penelitian
Saya juga mencoba menelusuri status hama padi pada masa kolonial dari jejak penelitian yang ditinggalkan oleh para peneliti berkebangsaan Belanda tempo dulu. Ada tiga jenis hama padi yang tampaknya menjadi fokus penelitian kala itu. Ketiga hama tadi adalah penggerek padi putih, walang sangit, dan tikus sawah.
Penggerek padi putih
Penggerek padi putih dilaporkan sering menimbulkan kerusakan berat. Setiap tahun rata-rata 50.000 bau (36.000 ha) gagal panen akibat serangan penggerek padi putih, atau kehilangan hasil berkisar 1-1.5 juta pikul (60-90 ribu ton).
Penelitian bioekologi penggerek padi putih dan pengendaliannya dirintis oleh Dr. KW Dammerman. Ia tiba di Hindia Belanda pada tahun 1910, dan bekerja di Instituut voor Plantenziekten, Buitenzorg (Bogor) hingga tahun 1917 . Setelah kemerdekaan, lembaga ini berubah nama menjadi Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan, berlokasi di Cimanggu-Bogor.
Hasil penelitian Dammerman dipublikasikan dengan judul "De Rijstboorderplaag op Java" (Wabah Penggerek Padi Putih di Jawa) dan "Over Rijstboorders en Hunne Bestrijding" (Penggerek Padi dan Pengendaliannya). Kedua-duanya terbit tahun 1915. Adalah Dammerman orang yang pertama kali mengamati dan melaporkan bahwa ulat S. innotata berdiapause selama musim bera.
Dari hasil penelitiannya, ia mengajukan berbagai cara pengendalian penggerek padi putih.
Cara yang paling efektif megendalikan penggerek padi putih adalah mematikan larvanya yang tinggal di dalam tunggul setelah panen. Ini dapat dilakukan dengan pengolahan tanah dalam yang dilakukan segera setelah panen (Gambar 4).
Gambar 4. Pengolahan tanah dalam segera setelah panen (Sumber: Dammerman, 1915) |
Bila ini tidak mungkin dilakukan, seperti di daerah yang tidak beririgasi, maka disarankan pembakaran tunggul (Gambar 5).
Gambar 5. Pembakaran tunggul segera setelah panen (Sumber: Dammerman, 1915) |
Cara lain untuk mengendalikan serangan penggerek padi putih adalah pengumpulan kelompok telur di persemaian (Gambar 6). Untuk maksud itu, bedengan semai harus diatur dalam barisan dengan lebar 1 m. Pengumpulan kelompok telur dimulai sejak bibit berumur 1 minggu, dan diulang setiap 5 hari.
Gambar 6. Pencarian dan pengumpulan kelompok telur penggerek padi putih di persemaian (Sumber: Dammerman, 1915) |
Cara pengendalian lainnya adalah pemasangan lampu perangkap di persemaian untuk menangkap ngengat (Gambar 7). Lampu minyak tanah dtempatkan di tengah-tengah baki yang berisi air dengan lapisan minyak tanah pada permukaannya. Lampu perangkap itu perlu dinaungi untuk menghindari air hujan
Gambar 7. Pemasangan lampu perangkap (Sumber: Dammerman, 1915) |
Selain itu, pamflet (Gambar 8) dalam bahasa Belanda dan Indonesia, berisi informasi tentang perikehidupan hama penggerek padi dan cara pengendaliannya, disebarluaskan kepada masyarakat.
Gambar 8. Pamflet tentang hama sundep dan beluk |
Selepas kepindahan Dr. KW Dammerman ke Museum Zoologi Bogor, posisi peneliti hama padi di Instituut voor Plantenziekten diisi oleh P van der Goot, yang sebelumnya bekerja di Stasiun Penelitian Gula di Pasuruan dan Stasiun Penelitian Perkebunan di Salatiga.
P van der Goot jualah yang kemudian melanjutkan penelitian penggerek padi putih. Bahkan, ia menjadikan hama ini untuk penelitian disertasinya, dengan judul “Onderzoekingen over Levenswijze en Bestrijdino van den Witten Rijstboorder op Java” (Penelitian tentang Kehidupan dan Pengendalian Penggerek Padi Putih di Jawa).
Disertasinya itu dipertahankan pada sidang terbuka di hadapan Rektor Universitas Wageningen pada 5 Februari 1925. Salah satu inovasi yang lahir dari disertasinya adalah pengendalian penggerek padi putih melalui penundaan waktu semai. Dasar pemikirannya begini.
- Setelah panen, ulat penggerek padi putih berdiam di dalam buku terbawah dari tunggul untuk berdiapause atau estivasi. Masa diapause ini belangsung selama 4-5 bulan, dan berakhir dengan adanya curah hujan pertama (sekurang-kurangnya 10 mm) di awal musim hujan.
- Sekitar 4-5 minggu kemudian, ngengat-ngengatnya akan beterbangan keluar dari tunggul. Itu sebabnya dikenal dengan sebutan penerbangan tunggul, dan berlangsung selama 2 minggu. Setelah itu tak ada lagi penerbangan ngengat dari tunggul.
- Oleh karena itu, untuk menghindari serangan penggerek padi putih disarankan agar menunda waktu semai, setidaknya 6 minggu sejak hujan pertama turun. Dalam kurun waktu itu, sebagian besar ngengat sudah keluar dari tunggul. Ngengat-ngengat tadi akhirnya mati tanpa berhasil meletakkan telur, karena ketiadaan tanaman inangnya.
- Dengan begitu, benih padi yang disemai setelah itu akan terbebas dari serangan penggerek padi putih.
Cara pengendalian ini telah diujicobakan di daerah sebelah barat Brebes selama 12 tahun (1928-1941) dengan hasil yang sangat memuaskan.
Walang sangit
Bahwa walang sangit merupakan hama penting padi sudah ditengarai sejak lama (1878). Ini dapat ditelusuri dari artikel Dr. JC Koningsberger yang berjudul " Het mislukken van de sawahrijst-oogst op Java en de walang sangit" (Kegagalan panen padi di Jawa dan walang sangit).
Ia mengamati ada tiga hal yang berkelindan: persawahan yang irigasinya buruk, kelimpahan walang sangit, dan kegagalan panen.
Kegagalan panen tadi bisa terjadi bila malai diserang oleh banyak walang sangit seperti tampak pada Gambar 9, yang umumnya terjadi pada persawahan yang irigasinya buruk.
Gambar 9. Koloni walang sangit pada malai padi (Sumber: J Reijnvaan Jr,1932) |
Penelitian yang mendalam tentang walang sangit dilakukan oleh P van der Goot, dari tahun 1921 hingga 1932. Nahas baginya, pada Agustus 1943 ia ditangkap oleh tentara Jepang, sebelum sempat memublikasikan naskah hasil penelitiannya.
Bersama warga kulit putih lainnya, ia diasingkan di kamp penahanan di Cimahi. Karena kondisi kamp yang kumuh dan buruk, ia terserang disentri dan meninggal dunia pada 10 April 1944.
Tatkala Dr. J van der Vecht pada tahun 1947 kembali ke Indonesia (klik di sini untuk kisah lengkapnya) dan menjabat Kepala Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan, ia berupaya mencari naskah walang sangit yang pernah disiapkan oleh P van der Goot.
Dengan susah payah, akhirnya naskah tersebut ditemukan. Setelah disempurnakan oleh Dr. PA van der Laan dan Dr. J van der Vecht, naskah tadi lantas diterbitkan tahun 1949 dengan judul "De Walang sangit (Leptocorisa acuta Thunb.) als vijand van het rijstgewas as in Indonesie", [Walang sangit (Leptocorisa acuta Thunb,) sebagai hama padi di Indonesia].
Ini adalah contoh dari apa yang sekarang dikenal sebagai "posthumous publication" (publikasi anumerta). Suatu artikel yang dipublikasikan setelah penulisnya meninggal dunia. Sudah tentu, ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada penulisnya. Karena, seseorang yang sudah meninggal dunia tak perlu lagi kum penelitian.
Dalam artikelnya itu, P van der Goot menyarankan pengendalian walang sangit dengan mempersingkat masa tanam padi di suatu wilayah. Ini dimaksudkan untuk memperpendek musim berbunganya, paling lama 2.5 bulan. Dengan cara ini, perkembangbiakan walang sangit dapat dihambat.
Pengendalian lain yang disarankan kala itu adalah memasang tumbuhan perangkap. Walang sangit tertarik pada beberapa spesies tumbuhan yang hidup di rawa, seperti Ceratophyllum demersum, C. submersum, Lycopodium carinatum, Limnophila sp. Jika tersedia, tumbuh-tumbuhan tadi diikat dan diletakkan di sawah. Walang sangit yang tertarik pada tumbuhan tadi lalu dibakar dengan bantuan obor.
Tikus sawah
Tikus sawah menjadi pusat perhatian dari Dr. WC van Heurn, kala ia bekerja sebagai zoologiwan pada Instituut voor Plantenziekten. Ia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jawa pada Februari 1919. Dari tahun 1928-1932 ia ditempatkan di Garut untuk meneliti pengendalian tikus sawah.
Hasil penelitiannya dipublikasikan tahun 1931, dengan judul "Sawah-Ratten-Bestrijding in Bergterrein" (Pengendalian Tikus Sawah di Daerah Berbukit).
Kala itu, satu-satunya cara untuk mengendalikan hama tikus adalah melalui fumigasi. Ini dilakukan dengan memasukkan gas beracun ke dalam liang-liang tikus, yang jumlahnya berlipat ganda selama masa padi menguning. Berbagai alat untuk pengendalian tikus yang digunakan oleh petani saat itu disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Berbagai peralatan untuk pengendalian tikus (Sumber: WC van Heurn, 1931) |
Untuk mengetahui apakah di dalam liang terdapat tikus, digunakan anjing yang telah dilatih sebelumnya untuk melacak keberadaan tikus (Gambar 11).
Gambar11. Penggunaan anjing untuk melacak keberadaan tikus di dalam liang di sawah di daerah Garut, 17 Oktober 1929 (Sumber: WC van Heurn, 1931) |
Ke dalam liang-liang itu lalu dimasukkan gas beracun dengan bantuan emposan. Sebelumnya, mulut-mulut lubang tikus itu ditutup dengan tanah atau lumpur (Gambar 12)
Gambar 12. Pengemposan liang tikus pada pinggir sawah yang curam di daerah Garut, 12 Oktober 1929 (Sumber: WC van Heurn, 1931) |
Gas beracun yang digunakan oleh petani kala itu adalah karbonmonoksida yang berasal dari pembakaran jerami malai padi.
Gas beracun lainnya yang sama efektifnya adalah sulfurdioksida. Ini biasanya diperoleh dengan membakar sabut kelapa, yang sebelumnya direndam dalam campuran belerang, kalium nitrat, air, dan pasta dari pati.
Hama lainnya
Terkecuali untuk penggerek padi kuning, saya tak menemukan jejak penelitian untuk hama-hama padi lainnya, seperti kepinding tanah, hama putih, dan ganjur. Bahkan, wereng cokelat sekalipun.
Begitulah gambaran status hama padi pada masa kolonial.
Andai saja "status hama padi pada masa kolonial" itu judul sinetron di televisi, maka dapat dipastikan pemeran utamanya adalah penggerek padi putih, walang sangit, dan tikus. Sementara, wereng cokelat hanyalah figuran.
Kelak di kemudian hari, khususnya episode 1970-an, sang figuran berubah sosok menjadi megabintang (klik di sini)
No comments:
Post a Comment