Monday, November 13, 2023

Inpres Nomor 3 Tahun 1986 : Before dan After

Pak Harto satu-satunya Presiden yang memmberi perhatian pada hama, dan wereng cokelat satu-satunya hama yang mendapat perhatian dari Presiden.

Aunu Rauf

Hari itu, bulan ini, 37 tahun yang lalu. Tepatnya 5 November 1986.  Banyak yang terhenyak, utamanya barangkali para pengusaha pestisida. Tak percaya dengan apa yang dibaca di halaman pertama koran, dengan apa yang didengar berulang kali di RRI, dan dengan apa yang ditayangkan di layar TVRI.  

Bagaimana tidak. Pada hari itu, demi untuk mengerem peningkatan serangan hama wereng cokelat, pemerintah melarang penggunaan 57 jenis insektisida di sawah. Larangan itu dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986. Beruntung, saya masih menyimpan guntingan koran perihal itu (Gambar 1).

Guntingan koran tentang Inpres
Gambar 1. Guntingan koran  Kompas 6 November 1986 (Koleksi pribadi)

Lantas, bagaimana ceritanya sampai-sampai Presiden turun tangan mengurusi langsung masalah pestisida ?. Tak ayal lagi, ini ada kaitannya dengan situasi serangan wereng cokelat kala itu.

***

Sejatinya, sejak 1980 hama wereng cokelat telah berhasil dikendalikan dengan baik. Serangannya menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (1975-1979), yang dikenal sebagai "tahun wereng" (Gambar 2).

Luas serangan wereng cokelat
Gambar 2. Luas sawah (ha) terserang wereng cokelat di Indonesia (Sumber: Kenmore 1991).

Penurunan serangan wereng cokelat sejak 1980 itu berkat pola penanaman serempak dan meluasnya penanaman varietas tahan, IR 36. Dan,  sejak 1981 diikuti oleh dua varietas tahan lainnya, Krueng Aceh dan Cisadane. Kedua varietas ini hasilnya lebih tinggi. Harganya pun lebih mahal karena rasanya lebih enak dan disukai konsumen. Menjelang 1984, misalnya, hampir setengah areal sawah di Jawa Tengah ditanami kedua varietas ini. 

Suatu ketika, menyadari bahwa serangan wereng cokelat sudah beberapa tahun mereda, seorang kolega saya pernah melontarkan niatan untuk mengadakan seminar membahas fenomena penurunan serangan wereng cokelat. Itu terjadi kira-kira akhir tahun 1983.

Eeh ....seminar belum sempat terlaksana, hama wereng cokelat mendahului bangkit. Puncaknya terjadi pada tahun 1986.  Sawah seluas 40.000 ha di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta terserang berat oleh wereng cokelat. 

Serangan terjadi pada varietas yang sebelumnya dikenal tahan seperti Cisadane dan Krueng Aceh.  Varietas IR 36 dan Citanduy juga terdampak, tetapi lebih karena serangan penyakit kerdil hampa yang ditularkan oleh wereng cokelat tadi.  Di daerah-daerah ini pertanaman padi berlangsung terus-menerus sepanjang tahun dan tidak serempak.  

Tak hanya itu, sawah-sawah yang terletak di dataran yang lebih tinggi pun terkena imbas serangan wereng cokelat. Pada akhir tahun 1986 dan awal tahun 1987, sawah di daerah Darmaga-Bogor banyak yang memperlihatkan gejala hopperburn (rumpun kering). Begitu pula sawah-sawah di Bandung di  daerah yang sekarang dibelah oleh Jalan Soekarno-Hatta, serta daerah Soreang yang berketinggian kurang lebih 700 m di atas permukaan laut.

Tak aneh, bila majalah Tempo edisi 15 November 1986 memuat karikatur tentang kumbang predator yang sedang menyalami wereng cokelat, sambil berseloroh: "Wah, kau jadi berita utama, Reng " (Gambar 3). 

Karikatur majalah Tempo
Gambar 3. Karikatur tentang wereng cokelat (Sumber: Tempo 15 November 1986)

Karikatur tadi diperoleh bukan tanpa sengaja. Melalui penelusuran di internet, saya berupaya mencari koran atau majalah lawas yang sekiranya memuat liputan tentang wereng cokelat kala itu. 

Beruntung, di Tokopedia ada lapak "Aylapyu Buku" - beralamat di Indramayu - yang masih menyimpan stok Tempo edisi 15 November 1986. Harganya Rp. 20.000,-. Tanpa ragu sedikit pun, saya langsung mengklik tombol "Bayar", karena meyakini di dalamnya pasti memuat informasi yang sedang saya cari. 

Beberapa hari berselang, majalah pesanan datang. Pada bagian pojok bawah kanan tercantum bandrol Rp. 1.800,-. Ya, itulah harga majalah Tempo saat itu. Sekarang, edisi teranyar, setidaknya Rp. 50.000,- per eksemplar.  

Di dalamnya, selain memuat karikatur wereng di rubrik Opini, edisi itu juga meliput wereng cokelat di rubrik Ekonomi dan Bisnis dengan judul "Kredit Wereng di Sawah Puso", dan di rubrik Lingkungan dengan judul "Kembali ke Alam Raya".


***

Meningkatnya serangan wereng cokelat pada tahun 1985-1986 memantik pertanyaan. Bagaimana itu bisa terjadi ?. 

Para pakar nasional dan internasional menengarai itu akibat terjadinya resurjensi. Sejatinya, peningkatan populasi hama wereng cokelat setelah  aplikasi insektisida atau resurjensi bukanlah sesuatu yang baru.

Jauh sebelumnya (1968), resurjensi dilaporkan terjadi pada petak-petak sawah percobaan di IRRI. Percobaannya itu sendiri sebetulnya untuk menguji efikasi berbagai jenis insektisida terhadap penggerek padi kuning.  

Namun yang terjadi, sawah yang diaplikasi insektisida justru terserang berat oleh wereng cokelat.  Gejala hopperburn mencapai 94% pada petak yang diaplikasi, sementara pada petak kontrol hanya 18%.  Fenomena serupa  terjadi  pula pada percobaan di tahun-tahun berikutnya (1971-1977). Kala itu, mekanisme terjadinya resurjensi belum dipahami secara pasti.

Adalah  Peter E Kenmore orang pertama yang pada tahun 1978-1979 membuktikan secara eksperimental bahwa ledakan wereng cokelat disebabkan oleh terganggunya peranan musuh alami.  

Kala itu, ia masih berstatus sebagai mahasiswa S3 pada Departemen Entomologi di University of California- Berkeley.  Ia tinggal di IRRI selama dua tahun, dengan bantuan beasiswa dari Rockefeller Foundation Predoctoral Fellowship dan IRRI Research Fellowship. 

Sebagai seseorang yang pernah berguru kepada Prof. R van den Bosch, embahnya pakar pengendalian hayati, ia menggunakan dua pendekatan yang umum digunakan untuk mengkaji peranan musuh alami hama. Yaitu metode eksklusi dengan kurungan, dan metode insektisida. 

Kurungan yang digunakan terbuat dari kain nilon, berukuran tinggi 1.5 m, dengan panjang dan lebar masing-masing 0.5 m. Kurungan ditempatkan tersebar di sawah, dengan setiap kurungan berisi empat rumpun padi.  

Sebelum percobaan dimulai, seluruh serangga dan artropoda lain yang ada di dalam kurungan dikeluarkan. Lantas ke dalam setiap kurungan dimasukkan sebanyak 25 ekor nimfa instar-1 wereng cokelat untuk setiap rumpunnya.  Bagian ujung bawah nilon yang menempel ke lumpur dilipat ke atas setinggi 10 cm dari permukaan air, sehingga predator dengan leluasa dapat masuk ke dalam kurungan.  Sebagian kurungan lainnya dibiarkan tertutup rapat, sebagai kontrol. 

Hasilnya, dalam waktu sebulan, banyaknya wereng pada kurungan terbuka menjadi 50 ekor per rumpun. Ini karena adanya nimfa yang baru menetas dari telur.  Sementara pada kurungan tertutup, banyaknya wereng mencapai 600 ekor per rumpun. Artinya, tanpa kehadiran musuh alami, populasi wereng cokelat meningkat 12 x lipat lebih tinggi dibandingkan bila ada musuh alami. 

Pada perlakuan insektisida, sawah diaplikasi dengan 750 g ai/ha diazinon pada 34 hst, diikuti oleh 8 g ai/ha deltametrin pada 47, 58, dan 69 hst. Kedua jenis insektisida ini diketahui dapat menginduksi ledakan wereng cokelat. Petak kontrol berjarak 500 m. 

Hasilnya, perlakuan insektisida terbukti menurunkan kerapatan predator laba-laba dan kepik Veliidae. Dan, pada giliran berikutnya, meningkatkan jumlah wereng cokelat. Tak tanggung-tanggung, 800 x lipat lebih banyak daripada jumlah wereng cokelat di petak kontrol.   

Di Indonesia sendiri, resurjensi wereng cokelat sudah terendus sejak tahun 1979, melalui penelitian yang dilakukan oleh Pak Dandi Soekarna dari Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.

*** 

Bangkitnya kembali wereng cokelat pada tahun 1985-1986 itu rupanya telah mengundang perhatian Bappenas. Ini karena, seperti kata Ketuanya saat itu, Bappenas harus peka dengan program-program pemerintah di lapangan, termasuk pengamanan penyediaan pangan.

Dan, sudah tentu serangan wereng cokelat berpotensi mengancam program swasembada pangan. Padahal, setahun sebelumnya, Indonesia baru saja memperoleh penghargaan dari FAO, berkat keberhasilannya menggapai swasembada beras.  

Lain daripada itu, pada tahun yang sama, harga minyak bumi dunia anjlok. Ini menyebabkan pendapatan negara menurun tajam. Adalah tugas Bappenas dan Kementerian  Keuangan untuk berupaya menekan pengeluaran negara. 

Nah, salah satu opsinya adalah menghapuskan berbagai subsidi. Bayangkan, untuk subsidi pestisida saja, pemerintah harus menggelontorkan lebih dari US$ 100 juta setiap tahunnya. Tak heran, bila Bappenas sangat tertarik dengan sistem pengelolaan hama terpadu (PHT), yang menawarkan peluang pengurangan penggunaan pestisida. 

Bappenas mengawalinya dengan menghimpun pakar PHT nasional dan internasional. Pakar nasional yang kerap terlibat dalam diskusi wereng itu di antaranya adalah Prof. Soemartono Sosromarsono (IPB), Prof. Ida Nyoman Oka (Balittan-Bogor), Prof. Kasumbogo Untung (UGM), dan Prof. Fachruddin (UNHAS). Kala itu, saya masih berstatus "anak bawang", baru tiga tahun berada di Bogor sepulang dari studi di AS. 

Sementara dari kalangan internasional, saya mendengar nama Dr. Peter Kenmore (FAO), Dr. Merle Shepard (IRRI), dan Dr. K Sogawa (ATTA-Jepang). Dr. Wolfgang Linser, dari Harvard Institute for International Development (HIID), yang merupakan konsultan bidang pertanian dan lingkungan di Kementerian Keuangan, boleh jadi kerap ikut dalam diskusi.

Selain perlunya pendekatan PHT untuk wereng cokelat, diskusi juga menyepakati perlunya pengujian ulang resurjensi di tingkat lapangan. Salah satu pengujian itu dilakukan di Jatisari oleh Dr. K Sogawa. 

Konon, menurut penuturan Pak Soemartono, hasil penelitiannya dipresentasikan di Bappenas di hadapan para pakar PHT. Dan, hasilnya mengonfirmasi bahwa penggunaan insektisida organofosfat menyebabkan resurjensi wereng cokelat. Pada saat yang bersamaan (1986), penelitian yang dipimpin oleh Pak Kasumbogo (UGM) juga melaporkan hasil serupa.

Berbagai diskusi pakar PHT tadi, ditunjang oleh hasil pengujian ulang resurjensi, akhirnya mengantarkan pada terbitnya Inpres No. 3 Tahun 1986.  Salah satu butirnya, pelarangan 57 jenis insektisida untuk digunakan di sawah. Tak banyak pemimpin negara yang berani mengambil kebijakan seperti itu.

***

Proses lahirnya Inpres diceritakan secara lebih rinci oleh Prof. JB Sumarlin  pada tulisannya dengan judul "Arif, Bijaksana dan Rendah Hati", di dalam buku ”Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”. Pak Sumarlin adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Ketua Bappenas, masa bakti tahun 1983-1988.  

Di dalam tulisan pak Sumarlin tadi ada subjudul "Hama Wereng Cokelat Tahun 1986". Cerita berikut ini disadur dari sebagian tulisannya ditambah hasil wawancara dengan Prof. Soemartono, salah satu pelaku sejarah lahirnya Inpres No. 3 Tahun 1986. Informasi dari Pak Soemartono tak semuanya saya tulis di sini, sebagian bersifat off the record. 

Bermula dari rasa gundah bercampur galau yang menghimpit Pak Sumarlin. Pada sidang kabinet terbatas bulan September 1986, Menteri Pertanian melaporkan tentang adanya serangan wereng cokelat, khususnya di Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Namun, ia menjumpai adanya perbedaan data luas serangan wereng cokelat. 

”Gambaran data tentang luas serangan wereng yang berbeda-beda antara laporan resmi dari dinas pertanian daerah dan laporan lapangan dari para ahli, mendorong saya selaku Ketua Bappenas untuk segera mencari kebenaran”, begitu tulis JB Sumarlin.  

Melalui sekretarisnya, ia pun lantas menelepon Prof. Soemartono Sosromarsono (IPB) dan Prof. Kasumbogo Untung (UGM) untuk menyertainya melakukan pengecekan mendadak ke lapangan. Kala itu istilahnya Sidak, singkatan dari inspeksi mendadak. Beberapa wartawan juga diajak turut serta untuk menjadi saksi mata di lapangan.

Pada tanggal 18 Oktober 1986, dengan menggunakan pesawat GIA, rombongan terbang dari Jakarta ke Semarang. Kemudian melanjutkan penerbangan dengan helikopter milik AURI menyusuri persawahan yang terserang wereng cokelat di Pemalang, turun sebentar di lapangan bola di Purwokerto untuk makan siang. Setelah itu, terbang lagi menyusuri daerah persawahan pantai selatan Jawa, antara Purwokerto dan Yogyakarta. Helikopter turun di Yogya, lalu rombongan kembali ke Jakarta dengan GIA. 

Begitulah cerita yang disampaikan oleh Pak Soemartono kepada saya, pada tanggal 31 Oktober 2020, melalui WhatsApp. Ya, wawancara dilakukan melalui WA. Maklum, lagi puncaknya pandemi Covid-19. Pak Soemartono tak berani menerima tamu, dan saya pun tak berani bertamu ke rumah orang.

Menyadari sengkarutnya permasalahan ledakan wereng cokelat dan insektisida, Pak Sumarlin yakin betul bahwa untuk menghentikan laju serangan wereng cokelat hanya dapat dicapai dengan dukungan penuh dan keputusan dari Presiden. Tampaknya, Pak Sumarlin  menyadari betul bahwa, kala itu, banyak kalangan atas di Jakarta yang bersentuhan dengan bisnis pestisida. Kalau bisnisnya terusik, "Lho lho lho gak bahaya tah ?", begitu mungkin bahasanya sekarang.

"Tetapi, bagaimana melaporkannya kepada Presiden ?. Sementara masalah hama wereng cokelat bukan tugas teknis fungsional Bappenas",  demikian yang terlintas di benak Pak Sumarlin.  

Beruntung,  pada Senin tanggal 20 Oktober 1986, selaku Menteri Pertambangan dan Energi ad interim, Pak Sumarlin terbang satu pesawat dengan Pak Harto berkunjung ke Bontang untuk meresmikan proyek metanol.  

Di dalam pesawat, entah mendapat bocoran dari mana, Pak Harto bertanya kepada Pak Sumarlin. 

”Saya mendengar jij baru saja mengadakan kunjungan mendadak ke Jawa Tengah, ada apa ?”.  

Pucuk dicinta ulam tiba, Pak Sumarlin pun lantas menceritakan tentang meluasnya serangan hama wereng cokelat di Jawa Tengah, yang bila dibiarkan dapat mengancam swasembada beras.  Pak Harto langsung memerintahkan Pak Sumarlin untuk meneliti lebih lanjut dan melaporkan perkembangannya. 

Sekembali di Jakarta, esok harinya tanggal 21 Oktober, Pak Sumarlin mengadakan pertemuan dengan pejabat-pejabat serta para pakar PHT dari Departemen Pertanian dan Perguruan Tinggi (IPB, UGM, UNHAS).  

Dari IPB yang diundang ialah Prof. Soemartono. Saya, sebagai Ketua Jurusan HPT, masih ingat pagi itu Pak Soemartono minta izin ke Jakarta untuk menghadiri rapat di Bappenas. Raut wajahnya tampak serius, setengah memendam rahasia. Tak juga ada senyum, tak seperti biasanya. Rupanya, memang, pertemuan itu kelak akan merumuskan sesuatu yang sangat penting dan strategis.  

Pada tanggal 3 November, rumusan dari hasil pertemuan dengan para pakar tadi disampaikan oleh Pak Sumarlin kepada Presiden Soeharto. Beruntung, Pak Soemartono masih menyimpan foto yang penuh kenangan itu (Gambar 4), yang sudah lebih dari 35 tahun tergantung di dinding ruang tamunya.

Presiden menerima kunjungan pakar PHT
Gambar 4. Audiensi Tim Pakar PHT dengan Presiden Soeharto (Hasil foto ulang Mas Nadzir)

Tak perlu waktu lama, dua hari setelah pertemuan, tepatnya tanggal 5 November, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986.  Tak hanya sampai di situ, esok harinya tanggal 6 November 1986, Pak Harto memanggil sembilan gubernur, bupati, Kakanwil Pertanian yang daerahnya terkena serangan hama wereng cokelat, dan sejumlah kelompok tani ke Bina Graha.  

Ada baiknya untuk mengutip beberapa ucapan Pak Harto pada pertemuan itu, sebagaimana ditulis oleh Pak Sumarlin. Di antaranya yang mengingatkan agar jangan segan memberikan laporan dan angka yang benar. Bukan laporan yang ABS (asal bapak senang). 

“ …Jadi kalau dapat saya katakan dari hasil pengumpulan data, hanya sayang terus terang saja saya peringatkan, rupa-rupanya daerah-daerah itu kurang mengamati dan kurang memberikan angka-angka yang tepat. Mungkin karena menyembunyikan sesuatu, takut kalau konduitenya kurang baik dan sebagainya sehingga memberikan angka-angka yang lebih kecil, tetapi nyatanya sebetulnya lebih besar. Ini jangan terulang lagi, tidak ada masalah. Justru kalau menurut pendapat saya, kalau memberikan angka-angka yang bohong konduitenya nanti akan jelek, karena itu akan mengancam kepentingan nasional …”.

Teguran halus Pak Harto itu rupanya menginspirasi majalah Tempo edisi 22 November 1986, untuk membuat karikatur bernada sindiran "Laporan yang terus terang, tapi enak -- susah juga " (Gambar 5). 

Karikatur laporan ABS
Gambar 5. Karikatur terkait penyusunan laporan serangan hama (Sumber: Tempo 22 November 1986)

Seperti sebelumnya, majalah lawas tadi saya peroleh melalui Tokopedia. Kebetulan, lapak "Buya Gallery Antik 2" di Payakumbuh menyimpan satu kopi edisi yang saya cari. Harganya Rp. 25.000,-.

Pak Harto juga memahami betul keterkaitan antara insektisida, predator, dan resurjensi wereng cokelat. Ini tampak dari ucapannya:

”…Kedua, adalah insektisida yang tidak efektif itu bisa menyebabkan resistensi,  resurjensi, maupun juga peledakan hama sekunder, lantas timbulnya biotipe baru. Dan juga terbunuhnya musuh wereng coklat (predator). Jadi werengnya tidak mati, tetapi justru lawannya wereng yang mati…”.  
***

Barangkali tak terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa Pak Harto adalah satu-satunya Presiden yang memberi perhatian pada hama, dan wereng cokelat adalah satu-satunya hama yang mendapat perhatian dari Presiden. 

Lahirnya Inpres No. 3 Tahun 1986 tak pelak lagi merupakan bukti kuat kemauan politik pemerintah untuk menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT). Dan, karena Inpres itulah, Pemerintah Indonesia banjir pujian dan dukungan internasional.

Ini, misalnya, tercermin pada kata pengantar dari buku Integrated Pest Management=Protection Integree: Quo Vadis, An International Perspective, terbitan tahun 1987. Bunyinya: ”This volume is dedicated to the President of Republic of Indonesia who on November, 5, 1986 declared IPM (Integrated Pest Management) in rice”. 

Bentuk dukungan lainnya yaitu diselenggarakannya Lokakarya Internasional Hama Wereng Cokelat di UGM, Yogyakarta pada 8-12 Desember 1986. Selepas mengikuti lokakarya tadi, empat pakar internasional (Dr. Shepard/IRRI, Dr. P Kenmore/FAO, Dr. John Perfect/Inggris, Dr. Sogawa/Jepang), berkesempatan beraudiensi dengan Presiden Soeharto (Gambar 6). 

Presiden menerima tamu pakar internasional
Gambar 6. Audiensi pakar internasional dengan Presiden Soeharto (Koleksi digital Dr. Merle Shepard/Clemson University)

Kedatangan mereka untuk menyampaikan butir-butir hasil lokakarya. Utamanya yaitu dukungan atas kebijakan PHT seperti yang tertuang dalam Inpres No. 3 Tahun 1986. Ada sedikit cerita menarik pada saat audiensi itu. 

Kepada Pak Harto, Dr. Peter Kenmore mengibaratkan laba-laba yang ada di sawah sebagai bala tentara yang menjaga keamanan sawah dari serangan wereng cokelat. Mendegar itu, Pak Harto secara spontan beringsut maju, masih duduk di kursinya, sambil berujar "Ooh .. like my army". Tampaknya, sebagai seorang Jenderal mantan Panglima Kostrad, Pak Harto paham betul pentingnya keberadaan "bala tentara" laba-laba di sawah. Cerita ini disampaikan oleh Pak Shepard kepada saya belasan tahun silam, sewaktu kami berdua sedang berada di Bandara Juanda menunggu boarding. 

Tanggapan positif lainnya datang dari IRRI (International Rice Research Institute), FAO (Food and Agriculture Organization), dan IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia). 

Berbagai dukungan internasional tersebut akhirnya bermuara pada digulirkannya Program Nasional PHT. Program yang berlangsung selama 10 tahun itu (1989-1999), pembiayaannya bersumber dari hibah USAID dan pinjaman Bank Dunia. Sementara, FAO menyediakan bantuan teknis. 

Komponen utama dari Program Nasional PHT adalah pengembangan sumberdaya manusia, utamanya petani padi, melalui apa yang dikenal dengan sebutan Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) (Gambar 7). 

Sekolah Lapangan
Gambar 7. Kegiatan pengamatan agroekosistem oleh petani peserta SLPHT (Koleksi foto Dep. PTN, Faperta-IPB)

Ini merupakan sekolah tanpa dinding, dengan ruang kelas dan perpustakaannya adalah lahan sawah itu sendiri. Peserta SLPHT "masuk kelas" satu kali seminggu selama satu musim tanam (12 minggu). Setiap kali masuk, kegiatannya meliputi pengamatan agroekosistem, diskusi, dan pengambilan keputusan. Pendekatan ini  berhasil membantu petani mengembangkan kemampuannya sehingga menjadi "petani ahli" di lahannya. 

Selama perjalanan Program Nasional PHT, sebanyak lebih dari satu juta petani padi telah mengikuti SLPHT. 

***

Sosok di belakang lahirnya gagasan Sekolah Lapangan adalah Dr. Russell Dilts. Lelaki berbadan tinggi dan tegap itu lahir di Ohio, Amerika Serikat pada 12 Januari 1952. Lulus S1 tahun 1974 dalam Ilmu Politik dari Stanford University. Gelar Dr. dalam bidang pendidikan internasional diperolehnya dari University of Massachusetts-USA pada tahun 1988.

Pertama kali datang ke Indonesia tahun 1975 sebagai relawan melalui program  Volunteers in Asia. Terdorong oleh empati yang kuat terhadap rakyat kecil, ia pun memutuskan untuk menetap di Indonesia.  

Karir profesionalnya di Indonesia diawali sebagai konsultan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembangkan pendidikan non-formal pada akhir 1980-an. Ia dikenal memiliki kemampuan yang unik, khususnya dalam memberikan inspirasi kepada orang-orang di sekitarnya untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

Sejak tahun 1990-an, ia menjadi Team Leader Program Nasional PHT.  Pada saat itulah ia kemudian mengembangkan pendekatan Sekolah Lapangan menggantikan pola penyuluhan konvensional sebelumnya.  

Ini berawal dari perasaan risau dia terhadap pelaksanaan latihan yang menggunakan pendekatan pedagogi - pendidikan untuk anak. Baginya tak pantas orang dewasa yang kaya pengalaman, mampu berfikir, dan mandiri diperlakukan seperti anak-anak.

Untuk itu, ia memperkenalkan pendekatan andragogi - pendidikan untuk orang dewasa. Proses belajar dalam andragogi bertumpu pada konsep "belajar lewat pengalaman". Pendekatan inilah yang diterapkannya di SLPHT. 

Jauh sebelumnya (1984), Russel Dilts bertemu dengan Gus Dur, dan setelah menjadi muslim mendapat nama Muhamad Rusidi. Setahun berikutnya, ia menikah dengan puteri Solo bernama Wahyu Setyowati.

Pak Rus, begitulah teman-teman dekatnya biasa menyapa, meninggal pada tanggal 15 Oktober 2001 pada usia 59 tahun, di Bener Meriah, Nangroe Aceh Darussalam. Saat itu, ia sedang mengembangkan program pemberdayaan masyarakat di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  

Warisannya yang berupa pendekatan sekolah lapangan telah diadopsi oleh berbagai negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika.  Di Indonesia sendiri pendekatan sekolah lapangan tidak hanya terbatas pada PHT, tetapi telah melebar ke bidang lainnya seperti iklim, agribisnis, peternakan, keanekaragaman hayati, dll. Tak heran, bila ada yang menjulukinya "Bapak Sekolah Lapangan".

"Wafatnya Russ Dilts ...membuka mata dan hati kita, bahwa ada seseorang yang datang dari jauh untuk mencintai Tanah Air Indonesia. Kita dibuat sadar, bahwa ada seorang Amerika, lebih dari 30 tahun tinggal bersama petani dan mengelola lingkungan alam perdesaan di Indonesia....", begitu catatan Penyunting buku Russ Dilts: From Deep Inside.

Beberapa kali saya berkesempatan bertemu dengannya. Ia seorang pribadi yang rendah hati, enerjik, bersahabat, dan menyenangkan.

***

Berbarengan dengan upaya pemberdayaan petani, pemerintah juga mengurangi subsidi pestisida secara bertahap. Dari 75-80% pada tahun 1986, turun menjadi 40-45% pada tahun 1987, dan akhirnya dihapuskan sama sekali pada tahun 1989.  

Inilah sebetulnya awal era implementasi PHT di Indonesia. Sejak itu, penggunaan  insektisida pada pertanaman padi berkurang. Begitu pula serangan hama wereng cokelat mulai mereda. 

"Saya bersyukur karena hama wereng cokelat akhirnya bisa dikendalikan, namun saya prihatin karena Dirjen Tanaman Pangan yang telah menjalankan tugasnya sepenuh hati, dipecat", begitu penuturan JB Sumarlin dalam tulisannya berjudul "Oh, Ini Si Cabe Rawit" dalam buku"Pak Harto The Untold Stories".

Bahkan, saya mendengar sayup-sayup, tak hanya Dirjen Tanaman Pangan yang menjadi korban wereng cokelat, tetapi juga beberapa pejabat eselon di bawahnya. Bahkan, ada pakar asing yang juga ikut terpental.  

Semenjak keluarnya Inpres No. 3 Tahun 1986, Indonesia menjadi rujukan implementasi PHT di Asia dan belahan bumi lainnya. Sayangnya, tonggak sejarah penerapan PHT itu luput dari perhatian para penyusun buku "Sejarah Pertanian di Indonesia". 

Buku, terbitan Kementerian Pertanian tahun 2019, itu sama sekali tak memuat perjalanan PHT di Indonesia. Di dalamnya, tak ada Inpres No. 3 Tahun 1986, tak ada Program Nasional PHT, tak ada SLPHT. Bahkan, kata PHT sekali pun. Padahal, Indonesia sempat menjadi kiblatnya PHT bagi banyak negara berkembang.

Referensi

Dilts R.1995. Sekolah Lapangan: Suatu Upaya Pembaharuan Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu.

Hammig MD. 1998. USAID and Integrated Pest Management in Indonesia: The Investments and the Payoffs. Jakarta: USAID.

Kenmore PE. 1980. Ecology and Outbreaks of a Tropical Insect Pest of the Green Revolution, the Rice Brown Planthopper, Nilaparvata lugens (Stal.). PhD Thesis. University of California-Bekeley, USA. 226 p. 

Kenmore PE. 1991. Getting Policies Right, Keeping Policies Right: Indonesia's Integrated Pest Management Policy, Production, and Environment. ARPE Environment and Agriculture Officers' Conference. 11 September 1991, Colombo, Sri Lanka.

Lestari A, Budianta E, Sahanaya W. 2012. Russ Dilts: From Deep Inside. Jakarta: Yayasan FIELD Indonesia.

Oka IN. 1990. The Indonesia National Integrated Pest Management Program: Success and Challenges. UNDP Seminar/Workshop on Integrated Pest Management, New York, 26-27 July 1990.

Resosudarmo BP. 2014. The Political Economy of the Indonesian Integrated Pest Management during the 1989-1999 Period. Peshin R and Pimentel D (Eds.). Integrated Pest Management. Pune: Springer. pp. 255-268.

Sogawa K. 2015. Planthopper Outbreaks in Different Paddy Ecosystems in Asia: Man-Made Hopper Plagues that Threatened the Green Revolution in Rice. Heong KL, Cheng J, Escalada MM (eds.). Rice Planthopper: Ecology, Management, Socio Economics and Policy. Hangzhou: Zhejiang University Press.

Sumarlin JB. 2009. Arif, Bijaksana, dan Rendah Hati. Dwipayana G dan Sjamsuddin N (Eds.). Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada. hal. 103-128.

Sumarlin JB. 2012. Oh, ini dia si cabe rawit. Nugroho A dan Indria DS (Eds.). Pak Harto The Untold Stories. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 167-178.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2023. Inpres Nomor 3 Tahun 1986: Before dan After. https://www.serbaserbihama.com/2023/11/inpres-pengendalian-wereng-cokelat.html. Diakses tanggal (sebutkan)


No comments: