Wednesday, March 27, 2024

S. Leefmans, Tamatan Sekolah Dasar Penyandang Gelar Doktor Honoris Causa

Kiprahnya di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tahun 1912 dalam menangani permasalahan hama-hama singkong, kopi, dan kelapa mengantarkannya pada gelar Dr. HC entomologi terapan dari Universitas Pertanian Wageningen pada tahun 1928.

Aunu Rauf

Namanya memang tak setenar atau selegenda Dr. LGE Kalshoven (klik di sini). Namun, jika Anda pernah menelusuri kepustakaan tentang hama singkong, bubuk buah kopi, atau hama-hama kelapa, pastilah Anda pernah sepintas berpapasan dengan nama S Leefmans. 

Bila tak ingat, tetapi Anda punya buku Kalshoven "The Pests of Crops in Indonesia", cobalah buka Bab Bibliography halaman 632-633. Di sana Anda akan menjumpai sederet publikasi yang penulis pertamanya Leefmans S. 

Lantas siapakah sebenarnya S Leefmans (Gambar 1), seorang tamatan sekolah dasar yang dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa itu ?. Apa saja kiprahnya selama 23 tahun tinggal di Hindia Belanda (Indonesia) ?. Yuk, kita simak kisahnya di bawah ini.

Salomon Leefmans
Gambar 1. S. Leefmans sedang bekerja di laboratorium (Sumber: Entomologische Berichten 1954)

Nama lengkapnya Salomon Leefmans. Terlahir di Leeuwarden (Belanda) pada 11 Januari 1884, dari pasangan Mozes dan Dina Israel. 

Ia datang bukan dari keluarga yang berkecukupan. Masa kecilnya dilakoni melewati jalan terjal berbatu. Pada usia 7 tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ayahnya. Karenanya, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, setamat sekolah dasar, pada usia 13 tahun, ia bekerja di sebuah toko grosir kain di kota kelahirannya.

Sejatinya, ia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, tetapi kondisi saat itu tak memungkinkannya. Untungnya, pemilik toko tempatnya bekerja membolehkannya, beberapa hari dalam seminggu, pulang lebih awal untuk mengikuti kursus di malam hari.

Ia tak sepenuhnya betah bekerja di tempat itu. Kesibukannya di toko tak menyisakan cukup waktu luang untuk hobinya. Mengoleksi serangga.  Tak hanya itu, sebagai pegawai termuda, ia kerap diolok-olok oleh pegawai-pegawai lainnya sebagai "tukang nangkap serangga".

Memang, sedari usia 11 tahun ia sudah bercita-cita ingin menjadi seorang naturalis. Selepas pulang sekolah, ia kerap berkeliling kampung untuk mengoleksi bunga dan serangga. Ia juga sangat gemar membaca, apa pun buku yang dapat ia peroleh atau pinjam. 

Minatnya pada kehidupan alam mengantarkannya berkenalan dengan seorang naturalis merangkap kepala sekolah, E Heimans, dan pakar burung, Jac. P Thijsse. Adalah keduanya yang kemudian banyak mewarnai perjalanan hidupnya. Mereka pula yang memperkenalkannya dengan entomologiwan Prof. Dr. JCH de Meijere dan kolektor serangga DL Uyttenboogaart.

Kehidupan Leefmans menjadi lebih baik setelah Uyttenboogart mengajaknya untuk bekerja di kantor perusahaan dagang miliknya. Selain bekerja kantoran, ia juga diminta membantu menata koleksi serangganya.

Menginjak dewasa, Leefmans menjalankan bisnisnya sendiri sebagai pemasok bunga. Kerjaan ini memungkinkan dia memiliki banyak waktu luang untuk bepergian mengisi hobi entomologinya. 

Jalan hidupnya mulai menemukan arah ketika ia diminta bantuan membiakkan serangga parasitoid untuk dikirimkan ke Deli, Sumatera Utara. 

Ini berawal dari Dr. LP de Bussy, Direktur Stasiun Percobaan Tembakau di Deli, yang pada tahun 1910 berkunjung ke Amerika. Tujuan utamanya yaitu mencari dan membawa pulang parasitoid Trichogramma pretiosum untuk pengendalian ulat tembakau Heliothis obsoleta (sekarang H. assulta).

Karena perjalanan dari Amerika ke Hindia Belanda memakan waktu 6 pekan, parasitoid diperkirakan tidak akan bisa hidup selama di perjalanan. Maka diputuskanlah untuk memperbanyak parasitoid itu terlebih dahulu di Belanda, baru kemudian dikirim ke Deli. 

Untuk itu de Bussy memerlukan seseorang di Belanda yang dapat menerima parasitoid dari Amerika, memperbanyak, dan kemudian mengirimkannya ke Hindia Belanda. Prof. JCH de Meiiere, kenalannya yang juga pakar Diptera, merekomendasikan nama Leefmans. Keduanya memang sudah saling kenal. Bahkan de Meijere pulalah yang menyarankan Leefmans untuk menggunakan telur kupu-kupu lokal sebagai inang pengganti.  

Singkat cerita, parasitoid T. pretiosum asal Amerika itu berhasil diperbanyak oleh Leefmans, dan keturunannya lantas dikirim ke Deli. Selanjutnya de Bussy melepaskan parasitoid tadi di pertanaman tembakau. Parasitoid tersebut berhasil menetap dan berkembang biak di tempat barunya. Keberhasilan ini tak lepas dari kerja keras Leefmans. Tak heran, bila de Bussy dan de Meijere sangat terkesan dengan seorang Leefmans.

***

Sementara itu, nun jauh di sana, di lereng Gunung Kelud, tepatnya di Bendorejo, Kediri (sekarang masuk Blitar) ada pabrik tapioka dan serat yang berdiri megah (Gambar 2). Pabrik ini merupakan salah satu yang terbesar pada masanya, yang mengekspor tapioka dan karung goni ke Europa dan Amerika.

Pabrik serat Bendorejo
Gambar 2. Pabrik tapioka dan serat Bendorejo, Kediri (Sumber: KITLV A1141) 

Pabrik ini di bawah pengelolaan Handelsvereniging Amsterdam (HVA), Asosiasi Perdagangan Amsterdam, yang bergerak di bidang pertanian di Jawa dan Sumatera. Di Bendorejo, HVA mengelola perkebunan singkong dan serat (Agave). Konon pada masa itu, sejauh mata memandang hanya tanaman singkong dan serat yang terlihat.

Namun, sejak tahun 1910 pabrik ini dipusingkan oleh pasokan singkongnya yang tersendat, gegara serangan hama uret. Karenanya, HVA ingin punya tenaga peneliti sendiri untuk menangani permasalahan hama uret itu.

HVA pun lantas mengontak Dr. HJ Lovink, Direktur Pertanian saat itu, yang kemudian mendiskusikannya dengan Dr. CJJ van Hall, Kepala Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman di Buitenzorg (Bogor). Keduanya lalu berkonsultasi dengan Dr. de Bussy di Deli dan Prof. de Meijere di Belanda. Mereka bersepakat untuk merekomedasikan nama S Leefmans.

Benar saja, beberapa saat kemudian Leefmans mendapat telegram dari Dr. Lovink di Batavia yang menanyakan apakah ia berminat untuk bekerja di Jawa mempelajari hama uret singkong.

Dengan senang hati ia menerima tawaran itu. Itulah peluang baginya untuk mencurahkan seluruh hidupnya pada entomologi. Terlebih lagi, Hindia Belanda adalah negeri yang menawarkan kesempatan untuk maju bagi siapapun dengan talenta tinggi. 

Maka, berangkatlah dia pada Juli 1912 untuk mengadu nasib di Jawa. Tak langsung ke Bendorejo, ia mampir dulu di Buitenzorg selama 6 hari. Selain untuk mendapat pengarahan dari Dr. van Hall, juga berkunjung ke berbagai lembaga ilmiah yang ada, dan tak lupa pula mencari pustaka. 

Walau hanya beberapa hari tinggal di Buitenzorg, ia  jatuh hati pada kota ini. Leefmans merasa iri pada mereka yang tinggal dan menetap di Buitenzorg. "Kota yang sangat menyenangkan bagi ahli biologi dan pencinta alam", tuturnya, kagum.  Apapun, ia harus segera meninggalkannya. 

Setibanya di Bendorejo, ia menyaksikan sendiri bagaimana ganasnya serangan uret (Leucopholis rorida). Kebun singkong yang terserang berat hanya menyisakan beberapa pohon tumbuh terpencar di sana-sini. (Gambar 3).

Serangan berat uret di kebun singkong
Gambar 3. Kebun singkong yang puso akibat serangan uret, Kediri 1913 (Foto: Leefmans 1915)

Leefmans pun segera memulai melakukan riset hama uret. Cakupannya menyeluruh dan mendasar, meliputi jenis-jenis uret di kebun singkong, cara hidupnya, tumbuhan inangnya,  dan musuh alaminya. Ya, layaknya riset mahasiswa pascasarjana entomologi. Mungkin lebih. Ia juga merintis cara pengendalian mekanis, yaitu pengolahan tanah yang diikuti dengan pengumpulan uret dengan tangan (Gambar 4).

Pengendalian mekanis
Gambar 4.. Anak-anak sedang menunggu imbalan dari pabrik setelah menyerahkan uret yang berhasil dikumpulkannya, Kediri 1913 (Foto: Leefmans 1915) 

Tak hanya uret, sejak tahun 1906, perkebunan singkong Bendorejo juga terserang berat hama tungau Tetranychus bimaculatus (sekarang: T. cinnabarinus). Pola riset yang sama diterapkan untuk tungau.

Menjelang kontrak kerjanya dengan HVA berakhir pada tahun 1914, Dr. van Hall menawarinya untuk bekerja di lembaga riset yang ia pimpin, Instituut voor Plantenziekten di Buitenzorg. Setelah kemerdekaan, lembaga ini berubah nama menjadi Balai Penyelidikan Hama Tumbuh-tumbuhan (BPHT), yang berlokasi di Cimanggu-Bogor. Untuk selanjutnya saya akan menggunakan sebutan BPHT. 

Pada saat yang bersamaan, Dr. de Bussy juga menawarinya untuk bekerja di Stasiun Percobaan Tembakau di Deli. 

"Pilihan yang sungguh sangat sulit", ujarnya, sedikit galau. Pantaslah, karena atas jasa keduanya ia bisa berada di Jawa.

Namun, demi pengembangan diri, ia lebih memilih bekerja di BPHT. Pertimbangannya, di Buitenzorg tersedia fasilitas perpustakaan, museum, berbagai lembaga penelitian, dan sudah tentu Kebun Raya. Walhasil, terhitung 2 April 1914 ia diangkat sebagai asisten entomologi di BPHT. 

Dan, sejak di Buitenzorglah ia terlibat dalam menangani permasalahan berbagai hama yang datang silih berganti. Banyak sekali. Saya hanya akan menceritakan beberapa di antaranya.

Bermula ketika perkebunan teh di Priangan mengalami serangan berat hama Helopeltis antonii dan penggulung daun Cydia leucostoma. Ia pun datang ke sana untuk melakukan penyelidikan bioekologi dan pengendaliannya. 

Begitu pula ketika hama bubuk buah kopi, Stephanoderes hampei (sekarang Hypothenemus hampei), menjadi masalah di Jawa. Ia juga yang menyelidiki perikehidupan dan cara pengendaliannya.  Bahkan, rampasan adalah teknik pengendalian bubuk buah kopi yang lahir dari gagasannya.

Oh ya ..., selagi penyelidikan bubuk buah kopi itu, tetiba menyeruak pertanyaan usil di benaknya: "Apakah serangga H. hampei yang termakan musang bersama biji kopi masih bisa hidup ?".

Ia pun lantas mengumpulkan sebanyak kira-kira 3 kg biji kopi yang terbawa dalam kotoran musang. Hasilnya, sebanyak 1% terserang H. hampei. Di dalam biji yang terserang tadi ditemukan: 8 kumbang mati, 11 kumbang yang baru muncul, 8 kumbang tua, 33 pupa hidup, 62 larva hidup, 17 butir telur. 

"Musang dapat membantu penyebaran hama H. hampei", begitu ia menyimpulkan.

Selang beberapa tahun kemudian, terjadi ledakan hama kumbang tanduk Oryctes rhinoceros dan kumbang moncong Rhynchophorus ferrugineus pada perkebunan kelapa rakyat di Padang. Ia pulalah yang dikirim ke TKP (tempat kejadian perkara). Tak heran, bila dia adalah orang yang pertama kali mengungkap perikehidupan kedua kumbang itu, termasuk tempat berkembang biaknya dan cara pengendaliannya. 

Minatnya pada hama-hama kelapa terus berlanjut. Meliputi ulat Hidari irava, kumbang Brontispa longissima dan Plesispa reichi, serta ulat Artona catoxanthaTak terkecuali belalang. 

Tatkala pada tahun 1924 terjadi ledakan belalang Sexava nubila di Kepuluauan Talaud (Gambar 5) dan menjadi bahan pembahasan rapat Volskrad (DPR) di Batavia, lagi-lagi ia dikirim ke TKP untuk menyelidikinya. 


Serangan belalang pada kebun kelapa
Gambar 5. Serangan berat belalang Sexava nubila pada pertanaman kelapa di Kepulauan Talaud, Mei 1925 (Foto: Leefmans 1925) 

Salah satu upaya pengendalian yang dilakukan kala itu adalah pengumpulan nimfa dan imago belalang (Gambar 6). 

Pengendalian mekanis
Gambar 6. Pengumpulan belalang oleh murid-murid sekolah di Karakelong (Kepulauan Talaud) (Koleksi: Instituut voor Plantenziekten)

***

Mungkin karena pernah membantu de Bussy dalam mendatangkan parasitoid dari Amerika ke Deli untuk pengendalian ulat tembakau, ia terinspirasi untuk menerapkan pengendalian hayati pada hama lainnya. Menggunakan istilah medsos sekarang, Leefmans menjadi follower-nya de Bussy. Dan, sudah tentu, biang influencer-nya adalah A Koebele. Orang yang pada tahun 1889 berhasil mengendalikan kutu jeruk Icerya purchasi di Kalifornia dengan mendatangkan kumbang predator Rodolia cardinalis dari Australia. 

Langkah pengendalian hayatinya bermula dari bubuk buah kopi. Hama yang  pertama kali dijumpai di Jawa Barat tahun 1906 itu, segera menyebar ke seluruh Jawa dan kemudian seluruh Hindia Belanda. Salah satu upaya yang ia lakukan adalah mendatangkan parasitoid Prorops nasuta dari Uganda pada tahun 1923. Konon, jumlah yang dilepas pada tahun 1925 mencapai 86.000 ekor per bulannya. Sayangnya, parasitoid ini tak berhasil menetap. 

Giliran berikutnya adalah pengendalian hayati belalang S. nubila di Kepulauan Talaud dan Sangihe. Ini berawal dari hasil pengamatan lapangannya yang menunjukkan bahwa di Bacan, Ambon, Saparua, dan Halmahera ditemukan parasitoid Leefmansia bicolor, sementara di Talaud dan Sangihe tidak. 

Oleh sebab itu, pada tahun 1925 dia mengumpulkan parasitoid Leefmansia bicolor dari Ambon sebanyak 7000 ekor, kemudian melepaskannya di Talaud. Parasitoid tadi berhasil menetap dan berkembang biak.

Adalah Leefmans pula yang pada tahun 1928 merintis introduksi parasitoid Angitia (sekarang: Diadegma) fenestrata dari Belanda untuk pengendalian ulat kubis Plutela xylostella. Tapi, parasitoid itu tak berhasil dibiakkan di laboratorium di Buitenzorg. Karenanya, 22 tahun kemudian (1950) Dr. Vos mengulanginya dengan mendatangkan parasitoid Angitia cerophaga (sekarang: Diadegma semiclausum) dari New Zealand. Upaya yang kedua ini berhasil dengan baik.

***

Kehadiran S Leefmans di Hindia Belanda tak hanya menguak perikehidupan berbagai hama penting pada singkong, kopi, dan kelapa. Tapi, secara tak langsung, ia juga menemukan berbagai spesies baru, utamanya parasitoid. 

Setidaknya, melalui pencarian di Index to Organism Names, saya menemukan 21 spesies serangga dengan epitet leefmansi. Di antaranya adalah Campsomeris leefmansi yang merupakan parasitoid uret singkong Leucopholis rorida, dan Cadurcia leefmansi yaitu parasitoid ulat daun kelapa Artona catoxantha.

Bahkan juga penemuan genus baru. Misalnya, Leefmansia bicolor yang merupakan parasitoid belalang Sexava; serta Leefmansiella pandani, sejenis nyamuk penyebab puru (gall) pada pandan (Pandanus nitidus). 

Lebih dari sekadar itu, ia juga pernah jadi "taksonom dadakan". Begini ceritanya. 

Pada tahun 1925 ia mendapat berita bahwa kebun kelapa di Pulau Poat (Sulawesi Tengah) terserang berat oleh sejenis belalang. Ia pun lantas minta dikirim sampelnya. Selang beberapa bulan, ia menerima 7 spesimen yang terdiri dari 6 ekor jantan dan 1 ekor betina. 

Setelah diperiksa di bawah mikroskop, ia sangat yakin bahwa belalang itu adalah Sexava. Tapi, yang pasti bukan spesies nubila. Lantas spesimennya ia kirim kepada Dr. H Karny, pakar taksonomi Tettiigonidae yang kala itu bekerja di Museum Zoologi Bogor (MZB). 

Dr. Karny memberitahunya bahwa itu adalah spesies baru, dan meminta Leefmans untuk membuat deskripsinya dan sekaligus memublikasikannya. Barangkali ini menunjukkan begitu percayanya Karny kepada kemampuan ilmiah Leefmans, seseorang tanpa gelar akademik. Dan pada giliran berikutnya, sebagai penghargaan kepada Dr. H Karny, ia pun memberi epitet karnyi untuk spesies baru itu. Kini, belalang itu dikenal sebagai Sexava karnyi Leefmans. 

***

Sebagian besar hasil penyelidikan yang dilakukan semasa ia berdomisili di Bendorejo dan setelah bekerja di BPHT diterbitkan sebagai monograf dalam Mededeelingen van het Instituut voor Plantenziekten. Misalnya No. 57 berjudul "De Koffiebessenboeboek: Levenswijze en Oecologie", yang isinya tentang perikehidupan dan ekologi bubuk buah kopi (Gambar 7). Hampir seluruh publikasinya dilengkapi dengan foto dan gambar. Memang, Leefmans dikenal sebagai fotografer dan pelukis yang andal.

Mededeelingen voor Plantenziekten
Gambar 7. Jilid muka monograf tentang bubuk buah kopi karya S. Leefmans yang diterbitkan oleh Instituut voor Plantenziekten

Menilik karya-karya ilmiahnya selama tinggal di Hindia Belanda, sangatlah wajar bila Universitas Pertanian Wageningen menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepadanya. Dan, sebagai promotornya ditunjuk Prof. W Roepke.

"Publikasinya sangat komprehensif, menggambarkan bagaimana pendekatan dia terhadap masalah hama, keterampilan pengamatannya di lapangan, metode penelitiannya yang menyeluruh, kemampuan penyajian datanya, serta pertimbangan praktisnya bagi kepentingan pertanian", begitu Roepke memuji kualitas publikasi Leefmans.

"Sebagai promotor, dengan senang hati saya menyampaikan pandangan Senat bahwa penghargaan tertinggi perlu diberikan kepada seseorang yang telah bekerja luar biasa sebagai entomologiwan pertanian di Hindia Belanda", begitu penggalan orasi Prof. Roepke mengawali acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Leefmans pada 14 Mei 1928.

"Lebih luar biasa lagi, karena pelakunya adalah seorang otodidak", Roepke menambahkan.

Di mata Roepke, Leefmans adalah seorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, ulet, gigih, berdedikasi, pekerja keras, mudah beradaptasi, dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. 

Roepke tahu persis siapa itu Leefmans. Wajar sekali. Sebelum diangkat sebagai profesor di Universitas Pertanian Wageningen, Dr. Roepke pernah menjabat sebagai Direktur Stasiun Percobaan Kakao di Salatiga pada kurun waktu 1913-1917. Karenanya, keduanya kerap bekerjasama. Bahkan sepanjang tahun 1918, Roepke sempat bekerja di BPHT, sekantor dengan Leefmans.

Di luar kegiatan riset, Leefmans aktif di Nederlandsch-indische Natuurhistorishe Vereeniging, organisasi pencinta alam Hindia Belanda. Bersama anggota lainnya, ia sering blusukan ke berbagai tempat. Yang ia amati tak hanya serangga, tetapi juga burung dan hewan kecil lainnya.

Bahkan, di pekarangan depan rumahnya di Buitenzorg, ia memiliki kebun binatang mini untuk menarik anak-anak agar datang ke rumahnya. Leefmans adalah teman bagi anak-anak. Kerap ia membimbing anak-anak itu untuk melakukan observasi sendiri, demi membangkitkan gairah kecintaan pada alam.

***

Setelah bekerja hampir 5 tahun di BPHT, pada tahun 1919 ia diangkat menjadi Kepala Bagian Zoologi dari lembaga  itu. Dan,  pada tahun 1927 diangkat sebagai Kepala BPHT.

Tahun 1934 pengabdian Leefmans di Hindia Belanda berakhir. Ia kemudian balik ke Wageningen. Di sana ia dipekerjakan sebagai peneliti pada Instituut voor Plantenziektenkundig Onderzoek, semacam lembaga riset hama dan penyakit tanaman. 

Pada tahun 1937, Universitas Amsterdam mengangkatnya sebagai dosen bidang entomologi terapan. Profesi dosen itu ditekuninya hingga akhir hayatnya.

Setelah menderita sakit yang cukup lama, ia meninggal dunia di Heemstede pada 3 Januari 1954, atau 7 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-70.

Di mata kolega dekatnya, Dr. S Leefmans dikenal sebagai pribadi yang ramah, ringan tangan, dan rendah hati.

Banyak warisan ilmiah yang ia tinggalkan untuk Indonesia. Juga dunia. 

Referensi

Backer CA. 1954. Herinneringen aan de eerste tropische particuliere en ambtelijke jaren (1913-1924) van Dr. S. Leefmans. Entomologische Berichten 15: 73-76.

de Wilde J.1954. Leefmans als entomolog in Nederland. Entomologische Berichten 15: 67-69.

Franssen CJH. 1954. Biologische bestrijding van de sabelsprinkhaan Sexava nubila St. op de Talaude-eilanden.  Entomologische Berichten 15: 99-102.

Heimans J. 1954. Dr. S. Leefmans 11 Januari 1884 - 3 Januari 1954. De Levende Natuur 57(2): 21-23.

Leefmans S. 1922. Verspreiding van den bessenbobeboek door den loewak (Paradoxurus hermaphroditus Fall. (tjareuk, moesang). Algemeen Landbouwweekblad Ned-Indie, Bandoeng No. 6.

Leefmans S. 1927. A new Sexava species from the Island Poat ( Celebes). Treubia IX: 411-412.

Roepke W. 1954. Dr. S Leefmans als entomoloog in Indie. Entomologische Berichten 15: 69-72.

Roepke W. 1954. In Memoriam Dr. S. Leefmans. Tijdschrift Over Plantenziekten 60(1): 67-68.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2024. S. Leefmans, Tamatan Sekolah Dasar Penyandang Gelar Doktor Honoris Causa. https://www.serbaserbihama.com/2024/03/kisah-hidup-salomon-leefmans.html. Diakses tanggal (sebutkan). 

4 comments:

sunaryo syam_kementan said...

terimkasih informasinya Pak aunu. Salam sehat, Sunaryo Syam (Mahasiswa MK. PHT, Pascasarajana Entomologi Thn 2014)

Sang Pengamat Hama said...

Ya, saya masih ingat mahasiswa yang dulu ngambil mk PHT.
Terima kasih sudah mampir di blog ini. Semoga sama-sama sehat.

Ito Fernando said...

Saat mengajar tentang sejarah Pengendalian Hayati di Indonesia, kasus ledakan Sexava dan pengendaliannya dengan Leefmansia bicolor sering saya ceritakan. Namun, melalui tulisan-tulisan Bapak, saya selalu mendapatkan banyak informasi baru. Sangat menarik informasi mengenai "luwak sebagai penyebar hama bubuk buah kopi", juga saya baru tahu bahwa yang menginisiasi introduksi Prorops nasuta adalah Leefmans.

Ini adalah tulisan yang sangat mahal, kerap kali saya minta mahasiswa membuka blog Bapak (mohon izin 🙏🏻) . Terima kasih banyak Prof. Aunu.

Sang Pengamat Hama said...

Terima kasih mas Ito atas apresiasinya. Kisah hidup yang menarik dan menginspirasi, saya pun menikmati saat menulisnya.