Sunday, July 7, 2024

Sepenggal Kisah Kutu Loncat Lamtoro, Dibuang Sayang

 Aunu Rauf

Beberapa hari selepas saya menyampaikan "orasi purnabakti" pada 10 Februari  2021, datang pesan WhatsApp di ponsel saya. Pengirimnya seorang mahasiswa S1 yang pernah saya bimbing. 

"Pak ..saya pernah baca wawancara pak Andi Hakim di Tempo bahwa ada tekanan dari Menteri Pertanian agar Pak Aunu tidak bicara lagi tentang hama kutu loncat lamtoro. Boleh Pak kapan-kapan itu diceritakan", begitu tulisnya.

Memang pada orasi yang dilakukan secara daring itu, karena masih pandemi Covid-19, saya mengusung judul "Menyusuri Jejak Panjang Berburu Hama Tanaman". Dan, salah satu hama yang saya ceritakan sepintas adalah kutu loncat lamtoro.

Ya, kedatangan hama asing kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) ke dalam wilayah Indonesia memang sempat sangat menghebohkan. Hama tadi diketahui pertama kali menyerang perkebunan lamtoro milik Balai Penelitian Ternak di Ciawi, Bogor. Itu terjadi pada bulan Maret tahun 1986. 

Masih terbayang dalam ingatan saya, pada masa awal kedatangan hama itu, seluruh pohon lamtoro di wilayah Bogor tajuknya gundul karena daunnya luruh terserang kutu loncat (Gambar 1). Beberapa bulan kemudian kutu loncat lamtoro menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk Papua.

Pohon lamtoro terserang kutu loncat
Gambar 1. Tajuk pohon lamtoro yang terserang kutu loncat Heteropsylla cubana (Bogor 9 Juni 1986) 

Menengok ke belakang, sebelum tahun 1980 H. cubana hanya terdapat di kawasan Neotropika, mulai dari bagian utara Argentina hingga Mexico. Tahun 1983 hama ini menyebar ke Florida, dan selanjutnya menyeberang ke kawasan Oriental dan Australia.   

Kedatangan kutu loncat lamtoro pada tahun 1986 itu mengawali persentuhan saya dengan hama asing invasif. Pada saat itu saya baru tiga tahun berada di Bogor, sejak kepulangan dari studi di USA, dan masih berstatus anak bawang di kancah perhamaan di Indonesia.  

Keterlibatan dengan kutu loncat lamtoro itulah yang pernah membawa saya pada suatu pengalaman yang tak mudah lepas dari ingatan. Begini ceritanya.

Suatu pagi, persisnya tanggal 17 Agustus 1986, seusai kembali dari mengikuti upacara kemerdekaan di halaman depan Kampus IPB Baranangsiang, setibanya di kamar kerja, saya mendapat tilpon dari kantor rektorat. Pesannya agar saya segera datang untuk menghadap Rektor. Kala itu Rektornya adalah Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion, seseorang yang pemikiran dan gaya tulisannya saya kagumi dan idolakan. Bahkan, sejak saya mahasiswa.

Sepanjang jalan menuju rektorat, berbagai tanda tanya berkecamuk dalam kepala. Apa yang salah ?. Apakah saya keliru membaca urutan butir-butir Pancasila ?. Dan, karenanya layak mendapat teguran.  Kebetulan pada upacara kemerdekaan itu, sebagai Ketua Jurusan HPT,  saya ditugasi membaca teks Pancasila.

Setibanya di gedung rektorat, yang sekarang menjadi kantor Majelis Wali Amanat (MWA), di dalam ruangan sudah ada Prof. Dr. Ir. Soemartono Sosromarsono dan Prof. Dr. Ir. Gunarwan Soeratmo, M.F.  Rupanya kedua dedengkot entomologi itu juga hadir pada upacara kemerdekaan dan diminta oleh Rektor untuk turut serta dalam pertemuan.

Setelah mengetuk pintu dan masuk ruangan Rektor, Pak Andi mempersilahkan saya untuk duduk dekat Pak Soemartono. Dengan wajah serius, Pak Andi lantas bercerita bahwa baru saja beliau mendapat tilpon dari Menteri Pertanian yang dengan nada tinggi meminta agar dosen bernama Aunu Rauf menghentikan segala wawancara di media massa perihal kutu loncat lamtoro.  

Saya menduga bahwa hal itu terkait dengan pemberitaan di harian Kompas beberapa hari sebelumnya.  

Memang pada hari Senin 4 Agustus 1986, saya yang waktu itu belum lama didapuk menjabat Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB didatangi dua orang wartawan harian Kompas. Keduanya adalah alumni IPB. Yang satu angkatan A6, satunya lagi A11.

Kepada kedua wartawan itu, saya ceritakan hasil pengamatan lapangan serangan kutu loncat lamtoro di Bogor dan sekitarnya. Pengamatan itu dilaksanakan bersama beberapa kolega dosen. Di antaranya I Wayan Winasa, Nina Maryana, dan Idham S Harahap. 

Saya bercerita bahwa, kala itu, sulit menjumpai pohon lamtoro yang bebas dari serangan kutu loncat. Tak terkecuali pohon lamtoro yang tumbuh terisolasi di pinggiran kebun teh Gunung Mas, di sepanjang jalan Bogor-Bandung dan di tempat lainnya.

Bahkan bibit lamtoro setinggi 5 cm yang tersembunyi dalam semak belukar juga diserangnya. Semuanya itu menunjukkan kemampuan dan kecepatan kutu loncat lamtoro mengeksploitasi sumberdaya makanan. 

Tak sekadar itu. Populasinya juga sangat berlimpah. Pada ranting yang telah meranggas yang panjangnya 57 cm kami menjumpai 104 imago, 1343 nimfa dan lebih dari 10.000 butir telur.

Wawancara selesai.

Esok harinya muncul berita di Kompas dengan judul “Serangan Kutu Loncat Lamtoro Lebih Ganas daripada Wereng Cokelat” (Gambar 2). Tampaknya judul berita itulah yang membuat Pak Menteri Pertanian tak berkenan. Maklum, tahun 1986 sudah memasuki tahun politik, karena Pemilu tak lama lagi digelar pada 23 April 1987.  

Berita serangan kutu loncat lamtoro
Gambar 2. Guntingan koran Kompas 5 Agustus 1986 (Koleksi pribadi)

Judul berita itu tampaknya membuat Pak Menteri merasa tak nyaman. Khawatir serangan kutu loncat lamtoro dijadikan komoditas politik yang dapat berimbas pada kedudukannya kelak. Terlebih lagi, kebun lamtoro yang ada di kompleks peternakan sapi milik Presiden Soeharto di Tapos ikut diserang oleh kutu loncat.

Peristiwa tadi tampaknya membekas di benak Pak Andi. Apalagi Pak Andi dikenal memiliki daya ingat yang kuat. 

Empat belas tahun kemudian, Pak Andi mengungkit lagi peristiwa itu ketika wartawan Tempo mewawancarainya tentang pendidikan tinggi di Indonesia..

 “Suatu siang seorang menteri-lulusan-IPB menelpon ke kantor saya.  Mula-mula ia memuji sehingga saya langsung waspada. Eh, benar. Buntutnya, dia menyuruh saya agar menekan Aunu Rauf, seorang dosen di Faperta, agar tidak bicara hama kutu loncat lagi. Waktu itu Aunu diwawancarai Kompas soal kutu loncat. Saya katakan kepadanya, dosen itu hanya menjalankan kewajibannya sebagai ilmuwan.  Dan kalau ia terus memaksakan kehendak, mau dikemanakan integritas akademik almamaternya ?. Akhirnya, ia minta maaf", begitu kenang Pak Andi sebagaimana ditulis majalah Tempo edisi 02 Februari 2000. 

Akhirnya saya mafhum. Rupanya mahasiswa yang disebut di awal tulisan ini  pernah membaca wawancara majalah Tempo dengan Pak Andi tadi.

***